Sejarah mencatat bahwa salah satu tokoh nasional perempuan yang ada Tana Luwu adalah Famajjah yang dikenal dengan gelar Opu Daeng Risaju. Ia lahir di Palopo pada tahun 1880, anak dari pernikahan Muhammad Abdullah To Barengseng dengan Opu Daeng Mawellu.
Palopo kota kelahirannya adalah kota pelabuhan penting yang ada di teluk Bone. Di kota ini pula berpusat Kedatuan Luwu, merupakan kerajaan tertua dan dihormati di Sulawesi Selatan kala itu. Diketahui dalam tradisi Kedatuan Luwu, gelar opu dikenal sebagai sebuah simbol kebangsawanan. Gelar Opu Daeng Risaju diberikan kepada Famajjah setelah ia menikah H. Muhammad Daud.
Pada waktu kecil, Opu Daeng Risaju tidak pernah mengikuti pendidikan formal, ia hanya belajar al-Quran, ikut diskusi keagamaan dan penanaman nilai moral dan budaya. Dalam tradisi Luwu, agama dan budaya tidak bisa terpisahkan. Opu Daeng Risaju dikenal taat dalam agama ini terbukti dengan ketekunannya mempelajari karya Khatib Sulaeman Datuk Patimang berupa kitab fikih. Kita tahu Sulaeman atau lebih dikenal Datuk Patimang salah satu tokoh penyebar agama Islam di Sulawesi Selatan khususnya di Tana Luwu.
Setelah dewasa, Opu Daeng Risaju kemudian dinikahkan dengan H. Muhammad Daud, seorang ulama yang juga dari keturunan bangsawan. Karena memiliki pengetahuan luas tentang agama, H. Muhammad Daud kemudian diangkat menjadi imam masjid istana Kedatuan Luwu. Lahadji Patang, dalam bukunya Sulawesi dan Pahlawan-pahlawannya: Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia, menguraikan bahwa pada tahun 1927, saat usianya sekitar 47 tahun, Opu Daeng Risaju memulai karirnya sebagai organisator politik sejak perkenalannya dengan H. Muhammad Yahya, seorang tokoh Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Yahya juga pernah bermukim di Jawa sebelum ia mendirikan PSII di Pare-Pare dan menjadikan Opu Daeng Risaju menjadi anggota Departemen PSII.
Selama masa jabatannya pada masa itu, Opu Daeng Risaju bertempur melawan imperialisme dan kolonialisme dengan berpegang pada agama sebagai dasar pergerakannya. Dan perjuangannya itu, ia mendapat dukungan besar dari masyarakat. Saat kembali ke Palopo, Opu Daeng Risaju membuka cabang PSII.
Pada tanggal 14 Januari 1930 PSII Cabang Palopo resmi dibuat melalui rapat akbar yang bertempat di Pasar Lama Palopo (sekarang Jalan Landau). Rapat pembentukan cabang ini, dihadiri oleh pemerintah Kedatuan Luwu, pengurus pusat PSII dan tokoh masyarakat dan masyarakat umum. Menurut catatan sejarah, pengurus pusat PSII yang hadir kala itu adalah Kartosuwiryo.
Dalam rapat akbar tersebut, Opu Daeng Risaju terpilih sebagai ketua, Muhedang sebagai sekretaris. Alasan Mudehang diangkat sebagai sekretaris PSII, karena ia pernah mengenyam pendidikan formal tentunya ia memiliki kemampuan baca tulis yang memadai. Selain itu, Muhedang juga masih saudara dengan Opu Daeng Risaju.
Setelah PSII resmi berdiri di Palopo, Opu Daeng Risaju kemudian memulai perjuangannya. Daerah yang pertama kali menjadi tempat pendirian ranting PSII adalah di Malangke. Sebuah wilayah di sebelah utara Palopo. Selama lima belas hari Opu Daeng Risaju berada di Malangke dan masyarakat begitu antusias menerima kedatangan Opu Daeng Risaju.
Metode yang dilakukan Opu Daeng Risaju merekrut anggota PSII, awalnya yakni melalui keluarga terdekatnya kemudian ke masyarakat luas. PSII sebagaimana diketahui adalah salah satu partai yang menjadikan Islam sebagai spirit perjuangan. Sehingga di kartu anggota PSII tertulis kalimat tauhid “Ashadu Allah La Ilaha Illallah”. Dan Opu Daeng Risaju menggunakan kalimat tersebut untuk mengideologisasi anggota yang ia rekrut.
Dengan metode seperti itu, perjuangan yang dilakukan Opu Daeng Risaju merekrut anggota akhirnya mendapatkan dukungan yang sangat besar dari rakyat. Kegiatan kepartaian yang di lakukannya kemudian tersebar dan diketahui oleh Controleur Afdeling Masamba (Saat itu Malangke letak Controleur Afdeling). Controleur Afdeling Masamba kemudian mendatangi kediaman Opu Daeng Risaju dan menuduh Opu Daeng Risaju melakukan tindakan menghasut rakyat untuk membangkang terhadap pemerintah Kolonial saat itu. Atas tuduhan tersebut, pemerintah Kolonial Belanda menjatuhkan hukuman penjara kepada Opu Daeng Risaju selama 13 bulan.
Setelah bebas dari tahanan, Opu Daeng Risaju tidak mengendurkan perjuangannya agar Tana Luwu bebas dari penjajahan. Tidak ada rasa takut sedikit pun, ataupun gentar dengan ancam pemerintah Kolonial Belanda termasuk dari dewan adat Luwu. Dia pun kembali berkeliling menyampaikan cita perjuangannya ke masyarakat. Di mana-mana ia berpidato. Konon ia sangat lihai dalam berpidato dalam pidatonya silih berganti menggunakan bahasa Bugis, Arab dan Indonesia.
Opu Daeng Risaju sangat dikenal sebagai orang yang prinsipil. Tak pantang surut pada kebenaran yang diyakininya. 1 Maret 1930, ia mendirikan ranting PSII Malili, terus berlanjut ranting Siwa dan Lasusua. Baginya kala itu, Partai PSII adalah media untuk bisa mencapai cita-cita merdeka. Karena aktivitasnya tersebut, kemudian pemerintah Belanda kembali menangkap Opu Daeng Risaju bersama suaminya di wilayah Patampanua (Siwa), kemudian dibawa ke Kolaka lalu ke Palopo menggunakan kapal laut dengan kondisi tangan diikat dengan rantai dalam pengawasan yang ketat.
Mendengar perlakuan terhadap Opu Daeng Risaju dan Suaminya, salah satu anggota adat Luwu Opu Balirante, yang tak lain sepupu Opu Daeng Risaju melakukan protes. Ia protes perlakuan Kolonial Belanda kepada Opu Daeng Risaju. Menurutnya, perlakuan tersebut tidak pantas bagi keturunan bangsawan. Opu Bilarante bahkan mengeluarkan ancaman, jika Opu Daeng Risaju dan suaminya ke kota Palopo dalam keadaan dirantai, ia akan meletakkan jabatannnya kepada Assitent Resident Belanda di Luwu.
Pada Tahun 1933, Opu Daeng Risaju terus mengembangkan kegiatan politiknya. Ia terus bergerak mendirikan beberapa ranting PSII di Belopa, Cimpu, Suli dan beberapa wilayah lainnya di Luwu. Pada tahun yang sama beliau mengikut kongres PSII di Batavia. Sekembalinya dari kongres, kegiatan politiknya semakin berkembang. Hal ini membuat resah pemerintahan Kolonial Belanda. Sehingga pemerintah Kolonial Belanda meminta kepada Dewan Adat Luwu untuk mengadili Opu Daeng Risaju dengan tuduhan “Majjulekkai Pabbatang” Artinya, melanggar larangan adat. Tuduhan pemerintah Kolonial Belanda atas dasar keputusan dewan adat yang memang memiliki kesepakatan agar Opu Daeng Risaju mengurangi aktivitas politiknya. Namun kesepakatan dewan adat tak dihiraukan sama sekali oleh Opu Daeng Risaju.
Saat itu, dewan adat cenderung pro pada pemerintah Kolonial Belanda. Atas permintaan pemerintah Kolonial Belanda, dewan adat kemudian menjatuhkan hukuman “Riselong” kepada Opu Daeng Risaju. Yakni hukuman buang atau pengasingan selama 7 tahun. Tetapi, Opu Balirante menentang hukuman itu. Sehingga Opu Daeng Risaju hanya dijatuhi hukuman 14 bulan penjara. Banyak diceritakan salah satunya oleh Lahadji Patang bahwa selama dalam penahanan itu, Opu Daeng Risaju mengalami penyiksaan. Bentuk-bentuk penyiksaannya yakni lari kelilingi lapangan, berdiri menghadap matahari berjam-jam, diletuskan senjata api dekat telinganya hingga ia terjatuh pingsan.
Muhammad Arfah dan Muhammad Amir dalam Biografi Pahlawan Opu Daeng Risaju: Perintis Pergerakan Kebangsaan/Kemerdekaan Republik Indonesia menulis bagaimana keteguhan Opu Daeng Risaju pada cita-cita perjuangannya. Keteguhan itu, tampak jelas di saat ia dipanggil oleh dewan adat ke Istana Kedatuan. Para anggota dewan adat mengajukan permintaan kepada Opu Daeng Risaju untuk menghentikan kegiatannya di PSII. Tapi Opu Daeng Risaju menjawab “selama saya masih mengucapkan kalimat Syahadat, selama itu saya tidak akan keluar dari organisasi Partai Sarekat Islam Indonesia. Apa yang saya lakukan di mana-mana selama ini hanyalah perintah Tuhan, Amar Ma’ruf Nahi Munkar.“
Dan salah satu ucapan tekad perjuangan Opu Daeng Risaju yang terkenal di saat ia mengatakan “kalau hanya karena adanya darah bangsawan mengalir dalam tubuhku sehingga saya harus meninggalkan partaiku dan berhenti melakukan gerakanku, irislah dadaku dan keluarkanlah darah bangsawan itu dari dalam tubuhku, supaya datu dan adat tidak terhina kalau saya diperlakukan tidak sepantasnya.” Sikap tegas pada pendiriannya itu, atas desakan Assisten Resident Luwu, akhirnya Datu dan Dewan Adat Luwu mencabut gelar kebangsawanan Opu Daeng Risaju dan mulai saat itu, dia hanya dipanggil Indo Saju.
Setelah pencopotan gelar kebangsawanan. Dewan Adat Luwu dan pemerintah Kolonial Belanda, kembali memengaruhi H. Muhammad Daud, agar membujuk istrinya untuk meninggalkan kegiatan politik. Namun karena keyakinan dan hatinya tetap pada pendiriannya dalam perjuangan politik. Sehingga Opu Daeng Risaju lebih memilih bercerai dengan H. Muhammad Daud, keluarga yang telah mereka bina bersama lima orang anaknya selama 25 tahun.
Pada tahun 1950, Opu Daeng Risaju tidak tercatat tidak aktif lagi di PSII. Ia hanya tercatat sebagai sepuh Partai PSII. Pada tanggal 10 Februari 1964, Opu Daeng Risaju meninggal dunia dan dimakamkan di pekuburan raja-raja Luwu/Lokkoe di Palopo, tanpa ada upacara kehormatan. Setelah Opu Daeng Risaju meninggal, ia kemudian dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional pada 3 November 2006, tepatnya 42 tahun setelah meninggalnya.
Reporter : YSF
Editor : AS