Dalam buku Histori Of Java (1871), Thomas Stanford Raffles memiliki kesan tersendiri terhadap perempuan Bugis-Makassar. Baginya, perempuan Bugis-Makassar sungguh jauh berbeda diperlakukan dengan perempuan di suku lain atau daerah lain bahkan bangsa lain di masa silam. Thomas Stanford Raffles, menulis bahwa perempuan Bugis-Makassar menempati posisi yang lebih terhormat daripada yang disangkakan. Mereka tidak mengalami kekerasan, pelanggaran privasi atau dipekerjakan secara paksa sehingga membatasi aktivitas/kesuburannya.
Mungkin benar yang ditulis oleh Thomas Stanford Raffles. Di tanah Sulawesi Selatan, di masa kerajaan, sejarah mencatat beberapa kerajaan pernah dipimpin oleh seorang perempuan. Tak hanya dari kalangan bangsawan, perempuan dari kalangan rakyat biasa pun ada yang pernah menduduki sebagai raja. Di kerajaan Bugis sangat dikenal demokratis. Pemilihan raja umumnya didasarkan pada kecakapan individual dan kolektif dengan mendudukkan faktor garis keturunan di nomor sekian. Ini karena masyarakat Bugis-Makassar berpegang pada kearifan “Maccai na malempu, Warani na magetten” (Cendekia yang jujur, berani dan teguh pendirian).
Dalam egalitarisme laki-laki dan perempuan dalam tradisi Bugis-Makassar dalam catatan kronik melahirkan sederet raja-raja perempuan pernah ada di antaranya We Tenri Rawe Raja/Pajunge ri Luwu, abad 14, Adatuang We Abeng, Ratu Sidenreng 1634, Datu Pattiro We Tenrisoloreng, Ratu Bone 1640, We Batari Toja Daeng Tallang, Ratu Bone 1724, Adatuang Adi We Rakkia Karaeng Kanjenne, Ratu Sidenreng 1700an, Soledatu We Ada, Ratu Soppeng, istri Arung Palakka, 1670, We Tenri Olle, Ratu Tanete Barru.
We Tenri Olle pada kesempatan ini kita akan ulas. Bukan berarti yang lain itu tidak penting namun ia terkait gerakan pendidikan dan literasi sastra di tanah Sulawesi Selatan. Namanya punya catatan penting terkait dengan pendidikan dan sastra. Ia memang senyap dalam lintasan sejarah. Ia tak banyak dikenal bukan hanya dari kalangan luar Tanah Bugis-Makassar tapi bahkan di dalam tanah Bugis-Makassar sendiri. We Tenri Olle redup oleh hingar bingar ketenaran Sultan Hasanuddin dan Arung Pallaka.
We Tenri Olle bernama lengkap Sitti Aisya We Tenri Olle, sejarah belum menemukan tanggal pasti kelahirannya. Namun ia anak kedua dari tiga bersaudara. Ayahnya bernama La Tunampare’ alias To Apatorang yang bergelar Arung Urung dan ibunya bernama Colliq Poedjie yang bergelar Arung Pancana. We Tenri Olleh besar dan tumbuh di Tanete Barru. Sejak muda We Tenri Olle sangat meminati ilmu pengetahuan. Saat kakeknya La Rumpang Megga Matinroe ri Mutiara menjadi raja Tanete, di tahun 1853, We Tenri Olle bertemu seorang peniliti dari Eropa yakni BF Matthes dari Belanda dan Ida Pfeiffer asal Austria. Pertemuan itu membawa We Tenri Olle semakin memiliki pengetahuan yang luas. Memiliki wawasan yang bisa dibilang melapaui zamannya.
Seiring perjalanan waktu, We Tenri Olle tumbuh menjadi dewasa. Karena kecakapan yang ia miliki, ia diangkat menjadi pemimpin Tanete menggantikan kakeknya. Pemilihan We Tenri Olle sebagai raja bukan tanpa protes. Ibunya sendiri Collie Pujie lebih menginginkan saudaranya yang menjadi raja yakni La Makkawaru. Namun perangai La Makkawaru yang seorang pejudi dan pemabuk, maka kakeknya lebih memilih We Tenri Olle karena itu, kehendak ibunya jadi surut. Konon alasan mendasar La Rumpang Megga Matinroe ri Mutiara lebih memilih We Tenri Olle karena We Tenri Olle seorang terpelajar dibanding La Makkawaru. We Tenri Olle tercatat menguasai dan peminat sastra dan ilmu agama Islam.
Saat menjadi pemimpin Tanete 1855–1910, We Tenri Olle, mampu melakukan reformasi pemerintahan dengan merampingkan pemerintahan. Kerajaan Tanete yang awalnya terdiri dari 13 banua daerah persekutuan hukum (distrik), dapat dilebur atau dirampingkan untuk mengefektifkan pemerintahan. Langkah yang dilakukan adalah dengan menghapus beberapa struktur lokal dan hanya menyisakan empat wilayah (palili), yaitu: 1. Tanete ri Tennga, 2. Tanete ri Lauq, 3. Tanete ri Aja, dan 4. Gattarang.
We Tenri Olle saat memerintah Tanete secara politis dan ekonomi sangat stabil selama lebih dari separuh abad yakni 55 tahun. We Tenri Olle, mungkin pemimpin kerajaan paling lama memerintah di Nusantara. Dalam kurun pemerintahnnya itu, We Tenri Olle memanfaatkan dengan baik untuk berkonsentrasi kepada dua hal yang sangat menarik minatnya: pendidikan dan kesusastraan.
We Tenri Olle punya pikiran untuk memajukan Tanete melalui pendidikan. Walau Tahun 1876, FB Matthes mendirikan sekolah, namun yang diterima di sekolah itu hanya kalangan tertentu saja: bangsawan dan kaum kaya. Kemudian pada tahun 1890 atau 1908, We Tenri Olle mendirikan sekolah yang dibuka untuk semua kalangan. Sekolah Rakyat atau Sekolah Desa yang dibuka oleh We Tenri Olle menerima semua kalangan tanpa diskriminasi sosial, ras, agama juga gender. Sekolah yang dibuka oleh We Tenri Olle tercatat sebagai sekolah pertama saat itu di Sulawesi Selatan dan hebatnya lagi sekolah ini berdiri tanpa sokongan dari pemerintahan Hindia Belanda. Kelak sekolah ini diadopsi oleh kerajaan lain yang ada di Sulawesi Selatan saat itu. Apa yang dilakukan oleh We Tenri Olle dalam hal kepoloporan (peneroka) pendidikan jauh mendahului apa yang dilakukan oleh RA. Kartini di Jawa.
Dalam hal kesusastraan, We Tenri Olle adalah salah satu arsitek kitab I Lagaligo. Bersama ibunya Collie Pujie, serta peneliti FB Matthes, ia mengumpulkan manuskrip-manuskrip I Lagaligo yang masih berbentuk lontara. Manuskrip itu, memuat petuah-petuah orang dulu (To Riolo). Dalam tradisi Bugis, cerita dalam lontara bukan hanya sekadar epos tapi cerita yang mengandung hikmah tentang kehidupan manusia. Apa yang tertulis dalam lontara adalah pesan leluhur yang penuh kearifan ihwal bagaimana menjalani hidup. Makanya saat itu, aksara bugis kuno dalam lontara sangat dikultuskan bahkan dikeramatkan oleh orang Bugis. Kemampuan We Tenri Olle bersama Ibunya Collie Pujie membaca dan memahami aksara Bugis Kuno, membuat pengumpulun dan penyusunan Kitab I Lagaligo menjadi mudah. Hasil kerja We Tenri Olle bersama Ibunya itu, kemudian oleh FB Matthes diterjemahkan dalam bahasa Belanda menjadi Boeginesche Chrestomathie. Kini kitab I Lagaligo menjadi kitab sastra terpanjang di dunia dan telah ditetapkan sebagai warisan dunia.
We Tenri Olle berakhir menjadi pemimpin di Tanete 1910. Semenjak itu, tidak lagi ditemukan catatan detail tentang kondisi kerjaan Tanete. Ada spekulasi bahwa kerajaan Tanete kala itu dimasukkan dalam wilayah administrasi Onder Affdeling Barru milik pemerintahan Kolonial Belanda. We Tenri Olle tercatat menemui keabadian pada tahun 1919 di Desa Pancana Tenete Ri Liau. Apa yang dilakukan di masa silam, ternyata tak cukup bisa membuatnya menjadi pahlawan nasional pada hal kontribusinya sangat besar. Mungkin karena “pemegang” sejarah tak bertiup ke arahnya. Ia banyak di lupakan. Tugas kita mengangkatnya menempatkannya pada posisinya yang layak karena telah berbuat untuk anak-anak bangsa. Untuk pendidikan dan kesusastraan Indonesia bahkan dunia.
Reporter : AS
Editor : AS