Yang fana adalah waktu.
Kita abadi memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu.
Kita abadi—Sapardi Djoko Damono—
Keabadian ia domain agama. Ia domain keyakinan yang diterima begitu saja. Bahwa ia dialami setelah hidup di dunia ini. Doktrin ini diterima ratusan tahun. Tanpa ada pertanyaan serius dan masif dari manusia. Kecuali oleh orang tertentu. Orang-orang yang menekuni lekuk-lekuk semesta dan hidup manusia.
Apa itu keabadian?
Demikian pertanyaan pertama yang muncul. Sebuah tanya yang memiliki motif menelusuri. Mengeja dalam dasar argumentasi: sebuah definisi. Hal ini tak mungkin diabaikan. Sebab di sinilah titik awal untuk memulai proyek apa pun dalam pengetahuan baik filsafat, agama dan sains ihwal keabadian.
Keabadian bila mengacu pada pandangan umum, selalu diikatkan di luar dimensi ruang dan waktu. Jika keabadian hendak diukur dalam waktu, maka selalu kata “tanpa batas” atau “tak terhingga” menyertai di belakang kata “waktu”. Sehingga selalu membentuk frase “waktu tanpa batas” atau “waktu tak terhingga” jadi keabadian adalah waktu tanpa batas. Atau keabadian adalah waktu yang tak terhingga.
Keabadian dalam pengertian waktu yang tak terhingga atau tanpa batas tak sama yang kita lalui—temporeri—sehari-hari. Yang kita lewati dalam sehari-hari adalah waktu yang menunjukkan perubahan. Yang membuat kita mengenal pemilahan masa lalu, masa kini dan masa akan datang. Mengantarkan kita memiliki pengertian bahwa ada ketidak-abadi-an. Ada kemusnahan. Ada kefanaan. Inilah ordinary time. Sedang manusia tak mungkin bisa berada pada “waktu”—super natural time—waktu adialami. Sebab ini wilayah Tuhan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata keabadian diartikan dengan kekekalan. Keabadian adalah tempat yang abadi (alam baka). Merujuk dari KBBI ini, terpampang jelas bahwa keabadian itu sesuatu yang ada “di sana” tidak dirasakan “di sini”. Melampaui alam yang dihuni ini. Dengan itu, manusia tak punya pengalaman akan itu. Keabadian itu “di sana” adalah hasil pengetahuan turun-temurun. Menjadi sosiologi pengetahuan manusia.
Kamaruddin Hidayat di bukunya Psikologi Kematian menguraikan bahwa manusia dalam sanubarinya yang terdalam sangat menghasrati abadi di dunia. Namun sisi lain manusia menyadari bahwa keabadian itu bukan di dunia, maka ia menyiasatinya dengan membangun monumen- monumen agar namanya selaku dikenang di dunia. Agar dirinya tak dilupakan. Secara psikologis, apa yang dilakukan manusia dalam membangun di dunia bukan hanya perkara untuk bertahan hidup akan tetapi di balik itu ada keinginan besar: abadi. Memang demikian kenyataannya. Jika diajukan pertanyaan, maka, keabadian salah satu yang teratas yang paling diinginkan di dunia.
Bisakah abadi di dunia?
Agama menjawab bahwa tak ada keabadian di dunia ini. Dunia adalah kefanaan. Segalanya akan hancur kecuali wajah Tuhan. Keabadian hanya milik Tuhan. Bagaimanapun manusia tak bisa mencapai keabadian sebagaimana Tuhan. Seperti itu doktrin agama mengajarkan kepada kita. Ia terus diproduksi dari leluhur kita hingga sekarang.
Lain agama, lain sains. Keabadian sedang dibincang secara serius dalam sains. Keabadian sesuatu yang mungkin terjadi dan tercipta di dunia. Kedepan manusia tak harus menunggu sampai di akhirat untuk abadi. Apa yang dibicarakan sains menjadi sesuatu yang polemik. Ada yang menerimanya sangat optimis dan tak sedikit yang sangat pesimis. Yang pesimis punya argumentasi kemustahilan sains sampai di sana. Sebab manusia memang terbatas dan sains sebagai produk manusia juga pasti terbatas.
Tapi yang optimis melihat dengan cara lain. Melihat sejarah sains yang makin kesini bisa menghadirkan sesuatu yang dulu juga dianggap mustahil. Dan laju penemuan sains dan teknologi makin kesini semakin cepat. Itu penanda bahwa apa pun ke depan sains dan teknologi bisa capai. Dalam buku Homo Deus, Yuval Noah Harari menyebut bahwa sains dan teknologi sedang mengusahakan tiga hal: keabadian, kebahagiaan dan kesejahteraan. Khususnya keabadian, dulu dianggap bisa dialami setelah menerima kematian, namun sekarang sedang diusahakan bahwa kematian bukanlah prasyarat untuk abadi.
Kematian oleh sains bukan siklus hidup yang wajib dilewati. Adapun kematian terjadi karena adanya kesalahan teknis pada tubuh kita. Sains melihat tubuh sebagai sesuatu yang mekanik. Sebab itu memungkinkan tubuh atau organ tubuh tidak berfungsi secara maksimal yang membuat kita mengalami apa yang disebut mati. Dalam sains dan teknologi kematian bukanlah takdir yang ditentukan, akan tetapi itu karena ketidaktahuan manusia. Belum adanya penyingkapan yang maksimal akan hal tersebut.
Jadi keabadian dalam arti hidup selamanya di dunia adalah mungkin untuk kita temui setelah penyingkapan pengetahuan akan hal-hal yang membuat kita musnah. Persoalan utama yang dihadapi manusia sebenarnya adalah ketidaktahuan. Inilah yang membuat kita manusia melahirkan konsep-konsep tentang keterbatasan pada diri kita manusia. Bahwa kita manusia sangat terbatas. Benarkah kita terbatas? Atau usaha kita tidak maksimal untuk mengetahui dan menyingkap segalanya?
‘