Menguak Tabir Pelanggaran HAM Bandara Maros, Kompensasi Lahan Warga Tak Sesuai

Belopainfo — Pembebasan Pelepasan Lahan Bandar Udara Sultan Hasanuddin tahun 1991-1993 silam sarat akan indikasi korupsi dan pelanggaran HAM yang belum terselesaikan hingga tiga dekade waktu berlalu.

Projek tersebut bermula dari dikeluarkannya SK Gubernur Sulawesi Selatan No. 39/IV/1991 seluas 431 Ha untuk perluasan Bandar Udara Sultan Hasanuddin yang beririsan dengan Desa Tenringankae (sebelum pemekaran desa tahun 1994), Kecamatan Mandai, Kabupaten Maros.

Pemerintah Pusat melalui Kementrian Perhubungan membentuk Panitia Sembilan yang terdiri dari Pemerintah Daerah Maros, BPN Maros, sampai jajaran pemerintah tingkat desa, yang bertanggung jawab dalam melakukan pengurusan pembebasan pelepasan lahan bandara. Sebab projek pelepasan lahan bandara bersinggungan dengan kepentingan umum, maka mekanisme pembebasannya harus melalui pembayaran kompensasi yang layak kepada warga pemilik lahan yang bersangkutan.

Oleh karena itu, Panitia Sembilan menginstruksikan warga pemilik lahan untuk mengurus dokumen terkait bukti kepemilikan lahan maupun tanda kepemilikan fisik untuk mendapatkan uang kompensasi yang akan dirampungkan kepengurusannya dari rentang waktu tahun 1991-1993.

Sementara itu, Dg Emba salah satu warga Maros/prisipal yang belum mendapat kompensasi lahan menjelaskan bahwa Indikasi praktik koruptif nampak ketika proses pembayaran kompensasi yang mengalami kejanggalan pada dua aspek, yaitu penambahan luas lahan pembebasan bandara dan pembayaran kompensasi yang tidak sesuai dengan harga yang ditetapkan Pemerintah Pusat.

Pertama, terkait penambahan luas lahan yang seharusnya hanya seluas 431 Ha sebagaimana SK Gubernur Sulawesi Selatan tahun 1991, berubah menjadi 533 Ha (selisih 102 Ha) melalui SK Bupati Maros Tahun 1997 dan menjadi dasar penerbitan Sertifikat Hak Pakai atas nama Kementrian Perhubungan oleh BPN Maros pada tanah seluas 533 Ha, yang seharusnya hanya seluas 431 Ha.

Penambahan lahan seluas 102 Ha tersebut menimbulkan tanya karena tidak sesuai dengan SK Gubernur tahun 1991 dan tidak ada mekanisme peralihan hak atas tanah maupun pembayaran kompensasi kepada pemilik lahan yang berhak pada lahan yang bersangkutan. Pun pada tahun 1993 sebelumnya Bupati Maros menerbitkan SK Bupati Kepala Daerah Tingkat II No. 590/190/Pem. tentang Tambahan Pencadangan untuk Perluasan Bandara Hasanuddin, tidak berdasarkan SK dari Pemerintah Pusat dan tidak jelas tindak lanjutnya.

Kedua, terkait pembayaran kompensasi atau uang ganti rugi pelepasan lahan yang tidak sesuai. Pemerintah Pusat telah menetapkan harga untuk pembebasan lahan bandara sebesar Rp 7.000/m2 atas lahan seluas 431 Ha, akan tetapi faktanya di lapangan terjadi kisruh persoalan penetapan harga lahan oleh Panitia Sembilan yang tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan Pemerintah Pusat sebelumnya.

“Sebagian pemilik lahan hanya menerima ganti rugi sebesar Rp 3.800/m2, sebagian lain menerima ganti rugi Rp 2.800/m2, bahkan ada pemilik lahan yang tidak menerima ganti rugi sama sekali sebab tidak ditemuinya kesepakatan harga yang terlalu timpang di pihak Panitia Sembilan,” sebut Dg Emba. Kamis (10/02/22).

Indikasi tindakan koruptif di tubuh Panitia Sembilan semakin nyata karena tidak adanya transparansi data pembebasan lahan baik atas tanah seluas 431 Ha sesuai SK Gubernur dan tanah seluas 102 Ha yang kemudian terakumulasi menjadi 533 Ha dalam Sertifikat Hak Pakai atas nama Kementrian Perhubungan.

Dokumentasi data pembebasan lahan dalam bentuk data nominatif atau dalam bentuk dokumen lain yang memuat daftar nama pemilik lahan yang menerima uang kompensasi dan berapa besarannya tidak mampu ditunjukkan sampai sekarang.

“Terkhusus pada tanah seluas 102 Ha bagaikan tanah siluman yang tidak berdasarkan SK Gubernur Sulawesi Selatan, tidak ada mekanisme pembayaran uang kompensasi kepada pemilik lahan yang berhak, tetapi secara sepihak tiba-tiba muncul dalam sertifikat hak pakai Kementrian Perhubungan,” tegas Dg Emba.

Di lain sisi, Konsekuensi tindakan koruptif tersebut menyebabkan terenggutnya hak para pemilik lahan yang sifatnya asasi dan dilindungi oleh hukum. Hak milik atas tanah yang dijamin UU Pokok Agraria dan UU HAM para pemilik lahan seluas 102 telah dikesampingkan dan terbengkalai hingga 30 tahun lamanya.

“Berbagai cara telah diupayakan oleh para pemilik lahan untuk mendapatkan hak mereka, dari audiensi ke Pemerintah Daerah sampai Pemerintah Pusat yang diwakilkan oleh perwakilan pemilik lahan nihil hasil. Banyak tenaga, pikiran, dan materi yang dikorbankan tetapi hasilnya tidak mendapat respon yang baik dari pihak yang seharusnya bertanggung jawab,” kata Ketua Tim/Kuasa Hukum warga Yodi Kristianto.

“Selama 30 tahun ini kondisi mereka memprihatinkan, ada yang mulai sakit-sakitan, tinggal di rumah yang tidak layak huni atau menumpang di rumah saudara/kerabat,” tambah Yodi Kristianto.

Tuntutan pemilik lahan seluas 102 Ha dan Tim Advokasi Bandara Maros ialah:

1. Pemerintah, khususnya Kementrian Perhubungan harus segera memenuhi hak atas uang kompensasi lahan mereka yang telah diabaikan selama 30 tahun lamanya.

2. Pemerintah dan Penegak Hukum harus mengusut tuntas indikasi tindakan koruptif pada pembebasan pelepasan lahan bandara pada tahun 1991-1993 yang belum selesai sampai sekarang.
 
Sumber: Rilis Tim Advokasi Bandara Maros

Pos terkait