Pada tanggal 13 Oktober 2024 lalu Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Sulawesi Selatan menggelar pertemuan dengan Aliansi Wija To Luwu dan Cones yang didampingi oleh YLBHI – LBH Makassar pada 9 Oktober 2024 . Di dalam pertemuan tersebut hadir juga sejumlah Pemerintah Daerah Kabuoaten Luwu serta pihak PT. Masmindo Dwi Area (MDA). Sedangkan dari perwakilan warga, Cones (46) selaku korban penyerobotan lahan, diwakili oleh anak perempuannya Ilyusi.
Pertemuan ini didasari akibat adanya desakan dari Aliansi Wija To Luwu terhadap efek negatif yang timbul sejak kehadiran PT. Masmindo di pegunungan Latimojong menyangkut bencana alam banjir bandang pada Mei 2024 serta berbagai konflik agraria yang terjadi sejak pembebasan lahan yang dipaksakan oleh PT. MDA.
Koord. Pengaduan PPLH, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) M. Salam mengatakan bahwa DLHK telah menyampaikan beberapa arahan kepada PT. MDA bahwa pentingnya mengacu pada koridor sesuai dengan hal yang termuat dalam AMDAL, kemudian melakukan pengkajian saintifik terkait penyebab banjir yang terjadi pada bulan mei 2024.
Begitu pula terkait persoalan pembebasan lahan yang ada di wilayah konsesi, PT. MDA harus melakukan penyuluhan di lokasi tambang eksplorasi, melakukan reklamasi dan revegetasi. Kewenangan pertambangan ada di Pemerintahan Pusat. Dinas LHK telah meminta ke PT. MDA wajib untuk melakukan koordinasi dengan pemerintahan pusat untuk melakukan penyelamatan lingkungan hidup dan kehutanan agar tidak terjadi dampak banjir dan longsor.
“Sudah ada juga mungkin kajiannya sudah diserahkan ke kami. Selanjutnya berkoordinasi dengan pemerintah Daerah Luwu pertanian, kehutanan, Camat, Lurah dalam kegiatan penyelamatan DAS dan potensi kerusakan lingkungan hidup dan hutan lainnya. juga melakukan koordinasi dengan pihak kepolisian dan Kementerian ESDM terkait dengan tugas penambangan ilegal dalam IUP PT. Masmindo,” jelas Koord. Pengaduan PPLH, M. Salam selaku yang mewakili Kepala Dinas LHK Andi
Hasbi.
Klaim PT. MDA Soal Pembebasan Lahan yang Dilakukan Secara Musyawarah
PT. Masmindo Dwi Area mengaku bahwa proses pembebasan lahan yang ada di wilayah konsesi itu dilakukan secara musyawarah, kemudian melibatkan Pemerintah Kabupaten Luwu sehingga tidak terjadi konflik.
Kajian Teknis Pertambangan, Pengolahan, dan Pemurnian Tambang (KTPPT) PT. MDA Mustafa mengaku bahwa dalam proses pembebasan lahan dilakukan dengan cara-cara negosiasi dan menyiapkan ganti kerugian terhadap warga terdampak sebesar Rp115.000.000.000 yang dititipkan di Bank Mandiri Cabang Belopa meski hingga saat ini tidak menemui titik terang mekanisme penyelesaiannya. Aktivitas PT. Masmindo juga disupport dengan dibentuknya satgas tim percepatan investasi yang melibatkan Pemerintah Kabupaten Luwu, Polres Luwu, Kejari, BPN, Kodim.
Terkait AMDAL PT. Masmindo, pada tahun 2017 izin lingkungan Masmindo telah diterbitkan, namun pada tahun 2019 dilakukan Adendum terhadap AMDAL tersebut. Dari pertemuan tersebut juga diketahui bahwa PT. MDA telah melakukan pembebasan dengan total lahan yang telah dikuasai lebih dari 1000 hektar, dari kesuluruhan wilayah konsesi seluar lebih dari 14.000 hektar.
Keterangan Korban dan Pendamping Hukum
Cones merupakan Warga yang menjadi korban penyerobotan lahan telah mengalami kerugian materiil dan immateriil. Sikap arogansi dan tindakan represi yang dilakukan PT. Masmindo merupakan tindakan terkutuk bagi warga yang sedang berjuang mempertahankan lahannya. Dalam pertemuan, Cones diwakili oleh anak kandungnya Ilysui, yang menilai bahwa penebangan serta tindakan penyerobotan yang dilakukan oleh perusahaan adalah tindakan sewenang-wenang.
“Masmindo ini merusak. Harus dibedakan ganti rugi tanaman yang telah dirusak dan ganti lahan yang produktif dan non produktif. Kemudian untuk mengakui lahan yang ada di atas itu, merupakan lahan masyarakat adat. Kemudian KJPP ini salah dalam melakukan perhitungan terhadap lahan tersebut. Jujur, saya bingung dengan cara menghitung lahan produktif dan non produktif ini, kenapa harganya disamakan?” tanya Ilyusi dalam kebingungan.
Cones selaku pemilik lahan yang dirugikan, telah melakukan pelaporan di Polres Luwu sampai sekarang tidak memiliki kejelasan atas laporannya. Pertama, hal ini dilakukan dengan Pemanggilan yang tidak memenuhi prosedur hukum yang berlaku, tidak secara sah dan patut. Kedua, pihak Kepolisian Polres Luwu gagal melakukan penegakan hukum dimana korban pengrusakan tanaman cengkeh oleh pihak PT. Masmindo kemudian diarahkan untuk menempuh proses damai dengan ganti rugi tanpa memberi kejelasan atas perbuatan pidana yang telah dilakukan oleh PT. MDA.
Sementara itu, Jendral Lapangan (Jendlap) Aliansi Wija To Luwu Menggugat, Haikal yang juga hadir dalam pertemuan tersebut menyampaikan bahwa bahwa hadirnya pertemuan ini karena ada keresahan yang terjadi di tanah Luwu.
“Pertemuan hari ini adalah untuk menyampaikan telah terjadi konflik di masyarakat. Hak masyarakat tidak terpenuhi dimana tidak ada transparansi terkait proses pembebasan lahan dan tanaman warga. Belum lagi dengan legalitas kepemilikan lahan milik warga yang cara menghitung ganti kerugian dilakukan secara serampangan,” ujarnya.
Dalam pertemuan ini, keluarga Cones yang didampingi oleh pendamping Hukum, Hasbi Ashidiq menyampaikan bahwa terkait persoalan pembebasan lahan yang dilakukan oleh pihak perusahaan dengan dalih dilakukan secara musyawarah. Namun, pada faktanya adanya tindakan pengrusakan yang dilakukan sebelum adanya kesepakatan dengan warga.
“Masmindo telah melanggar kewajiban dalam izin Lingkungan sesuai yang disampaikan oleh Pihak dari DLH, bahwa proses pembebasan Lahan dilakukan dengan cara musyawarah untuk mufakat, pelibatan Aparat Keamanan terdiri dari TNI/Polri termasuk Brimob bersenjata lengkap dalam proses pembebasan lahan yang dilakukan oleh Masmindo adalah tindakan melanggar hukum dan penyalahgunaan alat negara semata untuk kepentingan Perusahaan.” tegas Hasbi Asiddiq selaku Pendamping Hukum warga.
“PT. MDA sebagai pihak yang bertanggung jawab atas konflik yang terjadi di Rante Balla dengan pelibatan aparat bersenjata lengkap merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang sering kali dipertontonkan sebagai bentuk brutalisme aparat,” tegas Hasbi.
Hasbi juga menekankan bahwa selain isu terkait konflik agraria, penting juga untuk mempertimbangkan potensi banjir yang diakibatkan oleh aktivitas tambang itu sangat kuat. Mengingat peristiwa banjir di bulan Mei 2024, seharusnya Dinas LHK mempertimbangkan kepentingan publik
serta menghindari terjadinya bencana ekologi di Tanah Luwu.