Dialog yang Ranum

Hidup yang tak direnungi, hidup yang tak layak jalani
—Socrates—

Hidup adalah soal keberanian menghadapi yang tanda tanya, tanpa kita mengerti tanpa kita bisa menawar. Terimalah dan hadapi.
—Soe Hok Gie—

Bacaan Lainnya

Di sore yang ranum. Ketika hujan baru saja menunaikan tetesnya. Bau tanah menyeruak menghiasi lekuk-lekuk angin. Menghinggapi hidung yang siaga. Lama tak merasakan ini. Hingga kemarau absen. Diinterupsi oleh musim setelahnya: Hujan.

Seperti itu rasanya ketika perbincangan saya lakukan via telepon dengan seorang teman. Kami lama baru bersapa kembali. Bukan karena kami saling benci. Tapi mungkin karena kesibukan. Tapi saya melihatnya lain, saya menduga tanpa jeda itu, diskusi sore tak akan ada. Tak ada gugat pada apa yang dilihat dan dirasakan. Tanya yang dalam mungkin tak ditemui.

Awalnya tanya kabar. Itu hanya sebentar. Hanya basa basi. Setelah itu, tanya dalam menyeruak. Gugat hadir atas diri sendiri, banyak baca buku filsafat. Tapi kadang kala lakon hidup tak berfilsafat. Atas teman, namun liku hidupnya sangat labil. Gampangan. Mudah menyukai tak lama itu, menyudahi kemudian galau. Mudah ikut arus. Seperti orang tak punya prinsip. Tapi bisa jadi itu prinsipnya. Entah. Kami sedang menilai realitas dengan dialog. Itu filsafat? Mungkin?

Setahu saya, filsafat bukan hafalan dari buku-buku. Ia renungan dengan setandan tanya tanpa ujung. Yang saya paham, filsafat bukan sekadar melahap buku-buku filsafat. Namun ia merefleksikan buku-buku dengan dialog. Sebab menurut saya, tanpa dialog ia jadi dogma. Buku-buku itu seperti kitab suci tanpa gugat. Ia jadi pedoman yang nalar jadi lumpuh.

Lalu contoh diambil. Tidak dari buku. Tapi dari teks hidup. Bukan di luar diri. Ia dari dalam diri. Teman menerangkan. Sepertinya hidup itu absurd. Ini renungan saya. Kesimpulan saya ini, bukan dari buku. Tapi ini refleksi saya atas hidup. Lebih tepatnya hidup saya sendiri.

Kesimpulan saya, punya alur. Punya awal. Punya titik berangkat yang tak biasa. Mungkin tak banyak orang melakukannya. Mengajukan pertanyaan yang kelihatan konyol. Bisa juga sederhana. Karena itu, ia dihindari atau dilupakan. Keseharian menelannya. Menguburkan dalam rutinitas. Saya bertanya tentang apa itu hidup?

Menurut saya, teman saya sedang berfilsafat. Bukan soal temuannya akan hidup yang absurd, yang masih bisa digugat. Benarkah hidup itu absurd? Tapi pada caranya berdialog dengan realitas hidupnya. Di ujungnya ada jawaban sekaligus tanya: Absurd.

Jadi filsafat? Renungan, ketakjuban, keheranan lalu menelusuri menemukan jawaban lalu kemudian jadi tanya. Sebuah siklus entah ujungnya seperti apa? Begitu filsafat? Bisa jadi! Tapi seperti yang saya tahu. Jawaban ini tak memuaskan? Tidak masalah. Silakan digugat. Mungkin saja jawabannya melengkung butuh diluruskan. “Seperti seharusnya”. Jika demikian, filsafat sedang bekerja. Masa? Ia! Sedang bekerja dalam dialog kita. Perantara gelombang jaringan seluler yang kita pakai. Itu mediumnya. Jadi mediumnya bisa apa saja? Tentu apa saja. Letaknya di dialog yang dibingkai permenungan.

Menurut Platon demikian, Aristoteles tidak seperti itu. Menurut Hegel seperti ini, tidak bagi Marx. Al-Ghazali bilang begini tapi Ibnu Rusyd berkata lain. Ini filsafat? Mungkin. Tapi bisa jadi ini pendapat filsafat. Ya ini pendapat!. Lalu kita di mana? Merenungkan pendapat-pendapat itu. Setelah itu? Menerangkan posisi kita di mana? Itu filsafat? Kemungkinan. Tak memuaskan. Silakan ajukan tanya. Pasti kita berfilsafat? Bisa jadi.

Tak ada jawaban pasti? Yang pasti apa? Kita sedang berdialog melalui telepon. Dirimu di sana mendengar, saya di sini sedang mendengar. Itu pasti? Silakan meragukannya. Tidak! Saya tidak meragukan bahwa saya sedang meragukan dialog kita. Kamu seperti Descartes saja. Tapi Descartes benar. Kata kamu hidup absurd? Itu lain lagi. Maksudnya? Itu yang sedang saya cari jawabannya. Ini semakin tidak jelas. Silakan ragukan dan renungkan.

Dialog ini sungguh mistis. Ranum setelah hujan. Dialog terputus tanpa “kepastian”. Tanpa benar-benar kita saling mengakhiri. Sepertinya jaringan sedang berkonspirasi menunjukkan kepada kita apa itu filsafat? Yang jelas, setelah terputus, saya menuliskannya. Ingin mengabadikannya. Tak mau melewatkan. Saya memberinya judul “Dialog yang Ranum”. Bisa jadi sebenarnya tidak ranum. Silakan berfilsafat. Tidak menghafal teorinya

Saya selalu merindukan dialog seperti ini. Ia tak rusuh. Berupaya sama-sama seperti bidan dalam arti lain. Kita diperantarai oleh tanya. Oleh negasi juga kadang afirmasi. Kadang sepakat. Tak sedikit berbeda. Tak selalu sama. Itu filsafat? Sekali lagi renungkan saja. Kita tak harus punya jawaban. Pertanyaan kadang kala dibutuhkan lebih banyak di banding jawaban. Barangkali dengan itu yang jernih bisa jelas.

Oleh: Asran Salam
(Koordinator Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah Palopo)

Pos terkait