Di sekelilingnya mayat-mayat berjatuhan di sebuah pertempuran dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, ia memilih mati terhormat demi tanah air dibanding menyerahkan dirinya ke tangan penjajah. Ledakan granat yang digenggamnya di tengah musuh menjadikan ia perempuan muda pertama yang meledakkan bom bunuh diri di medan perang pada usia 22 tahun.
Di usia yang masih sangat muda perempuan tersebut memilih jalan juang demi mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Pada usia itu, perempuan pada umumnya masih sibuk dengan perawatan akan kecantikan dirinya namun berbeda dengan perempuan satu ini. Ia memilih mengorbankan jiwa raganya demi kecintaan terhadap ibu pertiwi.
Perempuan itu bernama Emmy Saelan, gadis belia kelahiran tanah Luwu Sulawesi selatan pada tanggal 15 Oktober 1924 di Malangke. Emmy Saelan merupakan bagian dari keluarga kerajaan tanah Luwu. Ayahnya bernama Amin Saelan adalah tokoh pergerakan taman siswa dan penasihat organisasi pemuda di Makassar. Sedangkan adiknya Maulwi Saelan juga merupakan tokoh pejuang dan sekaligus seorang pengawal setia Bung Karno.
Emmy Saelan bersama keluarganya hijrah ke kota Makassar pada usia 5 tahun. Seiring dengan perkembangan dirinya di Makassar ia tumbuh menjadi sosok pemberani. Sejak muda Emmy Saelan sudah menunjukkan ketidaksukaannya terhadap keberadaan Belanda. Watak tersebut merupakan warisan ayahnya yang juga tokoh pergerakan di Makassar.
Kecantikan Emmy Saelan tak kalah dengan perempuan kebanyakan di masanya. Kulitnya yang begitu putih membuatnya mendapatkan nama sandi ‘’Daeng Kebo’’. Selain dikenal sebagai pejuang gerilya di masanya, ia juga dikenal ahli dalam penggunaan sandi dalam panggilan sapaan. Emmylah yang menentukan aturan penggunaan sandi untuk mengenal sesama pejuang. Misal, bila ia memegang rambut dan orang yang dijumpai juga memegang rambut maka berarti orang itu adalah teman pejuang. Hal itu juga disampaikan mantan komandan pasukan perempuan Makassar Sri Mulyati.
Emmy Saelan merupakan salah satu pejuang muda lulusan sekolah SMP nasional di kota Makassar. Di mana pembangunan sekolah itu dilatar belakangi penolakan terhadap dibukanya sekolah NICA pada tahun 1945. Sekolah tempat Emmy menimba Ilmu melahirkan banyak tokoh pejuang muda, dalam melawan keberadaan Belanda di antaranya: Emmy Saelan, Wolter Monginsidi, dan Maulwi Saelan adik Emmy. Oleh karenanya Belanda menganggap sekolah ini sebagai sekolah ‘’ekstrim’’.a
Sebelum terjun ke medan perang, Emmy sendiri berprofesi sebagai perawat sekaligus kepala bagian palang merah. Suatu kali Emmy pernah menggunakan posisinya sebagai perawat untuk melepaskan para pejuang yang menjadi tawanan Belanda. Dengan posisinya itu, ia melawan ketakutan yang kadang menghantui agar para pejuang itu dapat bebas dan melanjutkan perlawanan terhadap Belanda. Ia pun turut serta dalam pemogokan Stella Marris sebagai bentuk protes penangkapan Dr. Sam Ratulangi beserta enam stafnya yang anggota PNI pada 5 April 1946.
Setelah itu, Emmy Saelan bergabung bersama pasukan Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) yang dipimpin Ranggong Daeng Romo pada bulan Juli tahun 1946. Pasukan ini merupakan bentuk keberlanjutan gerilya di Sulawesi Selatan untuk mengusir keberadaan Belanda di tanah Sulawesi.
Saat agresi militer Belanda kedua. Para alumni sekolah Emmy belajar, membentuk kelompok perjuangan dalam melawan kedatangan militer Belanda, perjuangan itu diberi nama ‘’Harimau Indonesia’’ yang diketua Robert Wolter Monginsidi. Sedangkan Emmy sendiri menjadi pemimpin laskar perempuan sekaligus menjadi sebagai petugas di palang merah.
Laskar perjuangan Harimau kerap kali melakukan aksi penyerangan dengan menembak dan melempar granat ke rumah-rumah pejabat Belanda. Dengan aksi itu, Belanda pun akhirnya mendatangkan kapten Westerling yang dikenal kejam dan bengis.
Tujuan mendatangkan Westerling yakni mempersempit ruang gerak pejuang muda SMP nasional. Kapten Westerling akhirnya melakukan penyisiran dengan menangkap para pejuang muda sehingga mengakibatkan sekolah tersebut terpaksa ditutup. Inilah peristiwa yang dikenal sebagai korban 40 ribu jiwa. Salah satu aksi yang dipimpin Emmy Saelan dan Maulwy Saelan adalah penyerbuan kantor NICA atas protes terhadap penangkapan Manai Sophiaan sebagai ketua Pusat Pemuda Nasional Indonesia (PPNI).
Sementara itu Emmy Saelan dan kawan-kawannya terus melakukan gerilya, akan tetapi desakan pasukan Belanda begitu sangat kuat, sehingga para pejuang laskar Harimau Indonesia kemudian mempersiapkan sebuah operasi melawan belanda.
Dikutip dari Makassarinside.com pada 23 Januari 1947 malam. Di pinggir kota Makassar Emmy Saelan memimpin sekitar 40 orang pasukan bertempur dengan Belanda. Pertempuran terjadi dalam jarak yang sangat dekat, seluruh pasukan Emmy gugur dalam pertempuran ini. Saat itu tinggal Emmy sendirian.
Pasukan Belanda mendekat dengan memerintahkan Emmy menyerahkan diri, namun ia tetap bersikukuh melawan dengan meledakkan granat di tengah pasukan Belanda .Akibat ledakan granat itu, membuat banyak pasukan belanda meninggal, akan tetapi Emmy pun turut gugur dalam pertempuran itu. Jenazahnya kemudian dikuburkan belanda di lokasi kejadian. Dan saat situasi aman, jenazah itu kemudian digali kembali dan dipindahkan ke taman makam pahlawan Penaikan.
Perempuan cantik berkulit putih itu telah memilih gugur dengan jalan terhormat bagi bangsanya. Ia adalah perempuan kelahiran Luwu yang telah mengorbankan jiwa raganya demi sebuah revolusi di negeri ini. Sebagai bentuk penghargaannya sebagai pahlawan nasional, pemerintah membangun Monumen Emmy Saelan di Jalan Toddopuli, Makassar. Selain monumen, Nama Emmy Saelan juga banyak menjadi nama jalan di kabupaten kota di Sulawesi Selatan.
Reporter : ENK
Editor. : AS