Ininnawakku muwita,
Mau natuddu’ solo’,
Mola linrung muwa.
Lihatlah keadaan batinku,
Walaupun dihempas arus deras kesusahan,
Namun aku masih tetap mampu berdiri tegar.
Syair di atas adalah potongan dari Sure Baweng karya Collie Pujie. Konon, syair-syair dalam Sure Baweng adalah suara hati Collie Pujie. Tentang curahan hati melihat realitas yang dihadapi. Ia mengalami pergulatan batin antara fisik yang terkurung dan pikiran yang merdeka. Keinginginan untuk membebaskan negerinya dari kolonialisme harus mengahadapi kenyataan untuk terkurung dalam pengasingan. Retna Kencana Collie Pujié Arung Pancana Toa Matinroé ri Tucaé adalah nama lengkap dari Collie Pujie. Tahun 1812 itulah tahun yang tercatat sebagai tahun kelahirannya. Tentang pribadinya, Collie Pujie memang tak dikenal oleh banyak orang. Sedikit sekali rekam sejarah ihwal pribadinya. Ia dikenal lahir dari perpaduan dua tradisi: Bugis dan Melayu.
Nama Retna Kencana adalah warisan dari darah melayunya, sedang Collie Pujie adalah warisan dari darahnya Bugisnya. Collie Pujie nama yang sarat dengan makna mendalam berarti “pucuk yang tinggi” adalah nama dari orang tuanya, La Rumpang. Namanya adalah doa yang menyata. Collie Pujie akhirnya salah satu yang menempati rangking teratas—yang terpucuk dari tradisi literasi Indonesia dan dunia.
Collie Pujie tumbuh di lingkungan kerajaan Tanete—Barru. Ayahnya La Rumpang adalah raja Tanete. Ia memiliki peranan penting di kerajaan sebagai penulis surat bagi kerajaan dan juga lantang dalam meneriakkan perlawanan terhadap Belanda. Di tanah kelahirannya, ia tumbuh menjadi seorang perempuan intelektual dalam mengangkat harkat dan martabat kerajaan Tanete dan rakyat Bugis. Tidak hanya kegigihannya dalam mengobarkan semangat perlawanan namun juga memiliki pengetahuan yang tinggi tentang sastra Bugis kuno.
Collie Pujie merupakan seorang pengarang dan penulis, ia mengerti bahasa La Galigo yang pada zamannya bahasa itu sangat jarang dituturkan lagi. Sembari menjadi sekretaris istana di Kerajaan Tanete, dalam tugasnya tulis-menulis surat, ia juga penyunting naska lontara Bugis kuno yang menjadikan dirinya sebagai sosok cendekiawati yang penuh kreativitas di masanya. Berkat kepiawaian dan intelektualnya, ia memiliki posisi penting dalam mengontrol kerajaan, hal itu disebabkan karena ayahnya pada saat itu hampir tidak pernah tinggal di kerajaan karena menjadi orang yang paling diintimidasi oleh Belanda.
Pernikahannya dengan La Tanampere’ (To Apatorang Arung Ujung) dianugrahi tiga orang anak, satu laki-laki dan perempuan. Anaknya laki-laki bernama La Makkawaru dan perempuan bernama Siti Aisyah We Tenriolle dan I Gading. Pada tahun 1852, sepeninggal suaminya Collie Pujie menetap bersama ayahnya di Tanete-Barru. Pada saat itu, ia bertemu dengan Frederik Matthes seorang misionaris Belanda yang diminta Nederlandsch Bijbelgenootschap untuk melakukan penelitian ilmiah mengenai bahasa Bugis dan bahasa Makassar dalam menerjemahkan Alkitab.
Pada saat ayahnya meninggal, La Rumpang pada tahun 1855, tahta kepemimpinan kerajaan diperoleh anak perempuannya bernama We Tenriolle, penyerahan kepemimpinan kerajaan itu atas permintaan kakeknya sendiri karena La Rumpang tidak mau takhtanya dipegang oleh La Makkawaru yang memiliki kebiasaan buruk dan dapat mencoreng nama baik kerajaan.
Setelah dua tahun berikutnya tepatnya pada tahun 1857, terjadi pergolakan di tengah keluarga kerajaan antara Datu Tanete We Tenriolle dan Ibunya. Hal itu disebabkan We Tenriolle selama kepempinannya ternyata bekerja sama dengan Belanda. Di mata kerajaan, kekuasaan belanda merupakan penjajah yang selama ini menindas rakyat.
Mengetahui itu, Collie Pujie merupakan seorang penentang keras kekuasaan Belanda di Tanah Bugis, sangat marah dan melakukan perlawanan terhadap keberpihakan Datu Tanete kepada Belanda. Takut akan berpengaruh besar, akhirnya pemerintah Belanda mengasingkan Collie Pujie dari tanah kelahirannya Tanete ke Makassar.
Selama di pengasingan, ia hidup penuh dengan keterbatasan. Dengan hanya 20 Gulden dan dua pikul beras selama sebulan dari pemerintah Belanda, membuatnya kadang berhutang dan menjual beberapah harta benda perhiasan yang dimilikinya demi menghidupi pengawalnya. Di tengah keterbatasan yang dialami, Collie Pujie bertemu lagi dengan Matthes dan membantu melakukan penelitian dan menjadi narasumber, asisten, sekaligus guru bahasa bagi Matthes. Upah yang didapat dari itu, sedikit meringankan keterbatasan dalam menjalani kehidupan di makassar.
Collie Pujie dan Matthes menyalin ulang Kitab La Galigo selama 20 tahun, Matthes berhasil mengumpulkan cukup banyak naskah La Galigo, dari hasil perjalanannya berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Salah satu karya paling penting Collie Pujie adalah salinan 12 jilid naskah La Galigo yang kini berada di benua Eropa tepatnya di Leiden Belanda.
Dia juga membantu Ida Pfeiffer dan A. Lighvoed. Ida Pfeiffer adalah seorang etnolog asal Austria yang mengadakan penelitian pada tahun 1853 sedangkan A. Lighvoed sedang meneliti yang dan menyusun catatan peristiwa sejarah di Sulawesi Selatan pada tahun 1870. Collie Pujie juga menulis beberapa elong (sejenis pantun Bugis) dan tulisan tentang kebudayaan dan upacara Bugis. Melalui sentuhan tangan dinginnya, ia banyak melahirkan ide-ide monumental dalam dunia sastra.
Menurut sejarah karyanya yang paling indah adalah Sure Baweng yang berisi petuah–petuah yang memiliki estetika yang sangat tinggi. Tidak hanya itu, ia juga menulis sejarah Tanete kuno tentang adat kebiasaan kerajaan yang ditulisnya dalam judul La Toa dan diterbiitkan oleh Matthes dalam bukunya Boegineesche Cristomatie II.
Sebelum meninggal, selain naskah La Galigo yang disalinnya, Collie Pujie memiliki berbagai macam karya sastra pada Tahun 1852, dia menulis Sejarah Kerajaan Tanete atau dalam bahasa Bugis disebut Lontara’na Tanete. Naskah ini kemudian dicetak dan diterbitkan oleh G.K.Niemen dengan judul Geschiedenis van Tanette.
Selain itu, ia juga dikenal sebagai pencipta aksara rahasia yang dikenal sebagai aksara bilang untuk melakukan korespondensi. Aksara bilang adalah modifikasi dari aksara Bugis dan aksara Arab, di mana aksara ini terdiri dari 18 huruf. Jadi hanya orang-orang tertentu saja yang dapat membaca dan memahami aksara tersebut.
Seluruh karya sastra yang telah diciptakannya membuktikan bahwa kadar kecerdasan dan kedalaman berfikir Collie Pujie tak dapat dipungkiri. Popularitas Collie Pujie memang tidak sebesar jasanya terhadap perkembangan sastra daerah Indonesia khususnya untuk budaya dan sastra Bugis, namun Collie Pujie adalah salah satu legenda perempuan Bugis yang pernah ada di Sulawesi Selatan. Collie Pujie menghadap ke pangkuan Sang Ilahi tepatnya pada tanggal 11 November tahun 1876. Ia memang sudah meninggal namun karya-karyanya akan tetap hidup tak lekang oleh waktu dan abadi sepanjang masa.
Reporter : ENK
Editor : AS