Belopainfo-1985 kekuasaan Orde Baru (ORBA) sedang mekarnya. Di tahun itu, Presiden Soeharto mengeluarkan Surat Keputusan yang bernomor 5. Isi keputusannya adalah menetapkan 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional (HPN)
Ditulis oleh Mahesa Danu, dalam Berdikari Online dengan judul Menggugat Hari Pers Nasional (HPN) menerangkan bahwa penetapan 9 Februari itu berdasarkan atas usul Harmoko yang saat itu menjabat ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Kita tahu Harmoko adalah salah satu orang kepercayaan Soeharto dan lama menjabat sebagai Menteri Penerangan.
Ada yang ganjal dalam penentuan 9 Februari itu, entah apa yang menjadi dasarnya. Kira-kira seperti itu yang ditanyakan Mahesa dalam tulisannya. Kita tahu era Soeharto, media sangat dibungkam. Banyak dibredel. Lalu Soeharto menetapkan Hari Pers Nasional. Tidakkah ini sangat kontradiktif. Atau jangan-jangan, 9 Februari, diperuntukkan untuk pers yang mendukung Soeharto.
Dalam catatan sejarah, banyak momentum pers yang sebenarnya memungkinkan untuk dijadikan sebagai HPN. Jika alasan 9 Februari ditetapkan sebagai HPN karena ditanggal itu, bertepatan berdirinya PWI, bukankah banyak peristiwa yang lebih lampau dan heroik oleh pers dalam mengabarkan kebangkitan nasional.
Bisa kita tengok peristiwa 1925 terbentuk Sarekat Journalists Asia. Perkoempoelan Kaoem Journalists 1931, dan Persatoean Djurnalis Indonesia 1940. Atau yang lebih awal lagi 1914 Mas Marco Kartodikromo sudah mendirikan Inlandsche Journalisten Bond (IJB). Bahkan jauh dari Marco Kartodikromo, masih ada 1 Januari 1907 Tirto Adhisuryo menerbitkan koran Medan Priai. Konon ini koran pribumi pertama.
Mahesa Dani, mengutip Takashi Shiraishi, menyebut Tirto sebagai bumiputra pertama yang menggerakkan bangsa melalui tulisan. Tidak hanya itu, berkat kepandaian menulis dan ketajaman fikiran, Tirto juga perintis model perjuangan nasional modern: koran dan organisasi.
Bahkan ada versi lain yang dikira lebih mendahului Tirto. Misalnya, di Sumatera, sejumlah koran berbahasa Melayu, yang juga digawangi oleh kaum pribumi, sudah terbit. Tahun 1900, Abdul Rivai sudah menerbitkan koran berbahasa melayu, Pewarta Wolanda. Lalu, pada tahun 1902, Abdul Rivai kembali menerbitkan koran berhasa Melayu: Bintang Hindia.
Catatan sejarah pers di atas bahkan bisa lebih panjang bila ditelusuri lebih jauh. Sehingga ditetapkannya 9 Februari sebagai hari pers barangkali bersifat politis oleh Soeharto di banding benar-benar melihat peristiwa pers sebagai rujukan dalam menentukan HPN.
Reporter : WM
Editor. : AS