Andi Djemma: Tak Sekadar Nama, Namun Cita-cita

Andi Djemma lahir dari turunan bangsawan Andi Engka Opu Cenning dan Sitti Huzaimah Andi Kambo. Ia tercatat lahir 15 Januari 1901 di Palopo. Andi Djemma tumbuh di lingkungan Istana. Ibunya, Andi Kambo, selalu membawanya untuk mengikuti rapat-rapat kerajaan. Pada proses itu, Andi Djemma kecil, banyak belajar tentang tata kelola pemerintahan. Ambun P. Bara’allo dalam Makassar Terkini.id menulis bawah Andi Djemma di usia pendidikan formal kira-kira umur sembilan tahun, menuntut ilmu di sekolah Indianche School. Di sekolah ini, ia menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Belajar pengetahuan modern. Dan yang terpenting, Andi Djemma sebagai orang dalam kerajaan, menjadi dekat dengan rakyat saat proses belajarnya di Indianche School.

Di usia 18 tahun, tahun 1919, sebuah kepercayaan besar diembangnya. Ia ditunjuk untuk memimpin sebuah daerah dalam Kedatuan Luwu tepatnya di Ngapa Sulawesi Tenggara. Empat tahun kemudian dipindahkahkan ke Ware. Namun tahun 1931, Andi Djemma diberhentikan oleh Hindia Belanda sebagai Sulawateng Ngapa. Hindia Belanda menuding Andi Djemma menggunakan dana pemerintahan untuk mendanai organisasi yang menentang pemerintah. 

Tak hanya itu, di usia yang tergolong baru beranjak dewasa itu, ia juga menjabat sebagai wakil datu dari ibunya sendiri: Andi Kambo. Sekitar tahun 1935 Andi Djemma kembali ke Istana. Di tahun yang sama, Kedatuan Luwu berduka. Andi Djemma bersedih, guru sekaligus ibunya wafat. Sepeninggal Andi Kambo, sebagai anak raja, maka garis kekuasaan berhembus kepadanya. Kekuasaan yang sebentar lagi di tangannya menuai protes. Hindia Belanda tak menginginkan Andi Djemma sebagai Datu Luwu. Pasalnya Andi Djemma tak pernah bersepakat untuk mengibarkan bendera Belanda.

Intrik terjadi. Terjadi kisruh dalam Istana Kedatuan Luwu. Pemerintah Hindia Belanda melobi Dewan Adat agar tidak memilih Andi Djemma sebagai Datu Luwu. Dari laman merahputih.com, dikisahkan bahwa karena desakan dan ancaman dari pendukung Andi Djemma dari Tana Toraja kepada Hindia Belanda dan Dewan Adat, bahwa pertumpahan darah akan terjadi jika Andi Djemma tidak terpilih sebagai Datu Luwu. Hindia Belanda tidak bisa menolak Andi Djemma terpilih sebagai Datu.   

Menjadi Datu, Melawan NICA Pertahankan Kemerdekaan

Saat menjadi Datu Luwu dan Indonesia sudah merdeka. Melalui Andi Djemma, Kedatuan Luwu mengikrarkan diri tergabung dalam Republik Indonesia di bawah pimpinan Soekarno. Hal ini juga menegaskan bahwa Kerajaan Luwu menolak kerja sama dengan aparat Nederlandsch Indie Civil Administratie (NICA, Pemerintahan Sipil Hindia Belanda). Pertengahan Oktober 1945, Andi Djemma menginisiasi pertemuan raja-raja se-Sulawesi Selatan. Di pertemuan tersebut, melahirkan kesepakatan bersama bahwa semua kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan berdiri di belakang pemerintahan Republik Indonesia. 

Awal November 1945 saat pasukan Australia (sekutu Belanda) tiba di Palopo. Inilah mula konfil besar terjadi. Walau sebenarnya ada kesepakatan antara pasukan Kolonial dan Andi Djemma. Bahwa pasukan sekutu hanya datang untuk melucuti senjata Jepang. Dan pemerintahan sipil Luwu tetap di tangan Andi Djemma. Namun pemimpin pasukan Australia Brigadir Jenderal Chilton, saat tiba di Palopo mengumumkan bahwa Luwu harus patuh pada perintah NICA. Karena mendapat dukungan dari Australia, maka pasukan NICA banyak melakukan teror di masyarakat Luwu hingga bentrok kadang tak terhindarkan. Puncaknya 21 Januari 1946 pasukan kolonial masuk ke masjid-masjid di Bua dan merobek-robek al-Quran. Melihat situasi itu, sebenarnya atas persetujuan Andi Djemma beberapa hari sebelum kasus Bua, tepatnya 17 Januari 1946 oleh Pemuda Republik Indonesia (PRI) membentuk Dewan Keamanan Rakyat. Tujuannya untuk bertempur melawan pasukan sekutu NICA/Australia. 

Menyikapi situasi rakyat Luwu terteror, Andi Djemma mengeluarkan ultimatum kepada Brigadir Jenderal Chilton agar pasukannya meninggalkan Palopo. Namun ultimatum tak dihiraukan oleh Brigadir Jenderal Chilton. Perang tak terhindarkan. 23 Januari 1946, Andi Djemma memimpin sendiri perlawanan semesta rakyat Luwu. Perlawanan semesta rakyat Luwu punya nilai historis sendiri. Ini karena perlawanan itu termasuk paling luas. Perang meletus sepanjang tidak kurang 200 KM. Perang dengan lokasi yang panjang itu menyulitkan sekutu.

Andi Djemma

Efek dari perang tersebut, Belanda sangat murka dan mengirim Raymond Wasterling. Merasa dipermalukan Wasterling mengamuk dengan membantai kurang lebih 40.000 jiwa. Angka itu mungkin tidak tepat. Tapi, yang pasti pembantaian oleh Kolonial Belanda adalah catatan kelam yang pernah dialami oleh orang-orang Sulawesi Selatan. 40 ribu jiwa, barangkali metafora tentang banyaknya yang dibantai. Tentang tak bisanya jari menghitung nyawa yang melayang. Perihal darah yang hampir tiap harinya menetes di tahun 1940an silam itu. Hingga sekarang angka 40 ribu jiwa masih misterius.  Tapi teriakan keterpisahan antara tubuh dan ruh adalah kenyataan yang telah menjadi legenda. Ia dikenang tapi belum dimenangkan. Belanda masih saja tak mampu diseret dalam kasus pelanggaran HAM.

Peristiwa 40 ribu jiwa adalah harga yang harus dibayar oleh sebuah tekad kebebasan. Untuk kemerdekaan sebagai manusia. Sebagai bangsa yang punya pikiran sendiri. Bangsa yang ingin tegak dan berjalan di atas kaki sendiri. Korban 40 jiwa, sebuah efek dari perjuangan yang membuat kacau balau Hindia Belanda di tanah Sulawesi Selatan. Ia bentuk keberanian Wija To Luwu: Andi Djemma seorang Datu/Raja Luwu yang sedang berdiri di sisi rakyatnya yang tertindas. Andi Djemma mengelorakan perjuangan. Mengimbau rakyatnya untuk bangkit melawan penjajahan Belanda.

Peran pada akhirnya dimenangkan oleh sekutu NICA/Australia. 2 Juni 1946, Andi Djemma harus meninggalkan istana ke Bone Pute. Di tempat itu, penangkapan atas dirinya terjadi. Saat ditangkap, ia berapa kali harus dipindahkan. Makassar, Selayar adalah stasiun-stasiun pengasingannya hingga 4 Juli 1946 sidang Tinggi Adat Luwu menghukun Andi Djemma 25 tahun pengasingan di Ternate. Karena adanya pengakuan kedaulatan Republik Indonesia, Andi Djemma tidak harus menjalani 25 tahun pengasingan. Ia dibebaskan 2 Februari 1950. 15 tahun bebas dari pengasingan di usia 64 tahun bertepatan 23 Februari 1965 Andi Djemma kembali ke kehariban Ilahi. Tanggal 8 November 2002, puluhan tahun setelah wafat, dengan proses yang tak mudah, akhirnya, ia diangkat menjadi Pahlawan Nasional.

Sebelum wafat, Andi Djemma sempat bertemu Soekarno. Saat pertemuan itu, satu yang ia minta kepada Soekarno hingga hari ini tak pernah terwujud. Tana Luwu menjadi daerah istimewa. Kadang memang sejarah tak mengikuti apa yang kita inginkan. Mungkin itulah yang dialami oleh Andi Djemma. Cita-citanya untuk Tana Luwu tak seperti yang dinginkannya. Tapi generasi baru Luwu masih berjuang akan cita-cita itu.

Reporter : AS

Editor      : AS     

Pos terkait