Andi Achmad merupakan salah satu seorang pejuang Indonesia dari Tana Luwu. Saat muda, ia pernah memimpin gerakan perjuangan bersenjata untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Meski berasal dari keluarga kerajaan, ia tetap menjadi pemuda patriot dalam membebaskan bangsa Indonesia dari cengkeraman penjajah.
Nama lengkapnya Andi Achmad Opu To Addi Luwu. Ia lahir di Palopo 23 Agustus 1923, ia adalah salah seorang putra Andi Djemma Datu/Pajung Luwu XXXIV dan XXXVI. Andi Achmad merupakan alumni Hollands-Inlandsche School (HIS) pada tahun 1939 dan Meer Uitgebreit Lager (Mulo) B (1941) sekolah yang didirikan pemerintahan Belanda. Ia pernah menjabat sebagai ketua Gerindo bagian Pemuda pada tahun 1937 hingga 1941 dan menjadi Goncho (Camat) di Wara pada tahun 1943.
Pasca pembacaan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia hal itu menjadi kesempatan bagi seluruh elemen bangsa bekerja keras dalam mempertahankan kemerdekaan. Andi Achmad berperan penting membangun gerakan untuk mengusir kedudukan Belanda di Tana Luwu.
Langkah revolusionernya banyak menggugah rakyat Luwu untuk mengangkat senjata dalam melawan Belanda. Saat berita pembacaan proklamasi kemerdekaan diketahuinya, ia merancang pertemuan pemuda dalam mendukung kemerdekaan Republik Indonesia dan meyakinkan Datu Luwu Andi Djemma untuk mengambil sebuah inisiatif dalam menyambut berita proklamasi tersebut.
Setelah datu Luwu Andi Djemma mendapatkan berita proklamasi dari Andi Achmad pada 19 Agustus 1945, ia langsung memerintahkan berita proklamasi kemerdekaan disebarluaskan di seluruh kalangan masyarakat dan memerintahkan beberapa orang pemuda termasuk Andi Makkulau (Anak tertuanya) untuk berangkat ke Makassar. Andi Djemma meminta kelompok anak muda itu, menghubungi Dr. Sam Ratulangi yang saat itu menjabat gubernur Sulawesi guna mendapatkan informasi resmi terkait dengan kemerdekaan.
Tidak hanya memengaruhi Datu Luwu dalam mengambil inisiatif terkait dengan kemerdekaan, Andi Achmad bersama Andi Makkulau, Andi Tenriadjeng, Dg Paduni, Martin Guli Dg. Malimpo, Abdul Kadir dan M. Yusuf Arief juga memprakarsai Soekarno Muda sebagai wadah perjuangan dalam melawan penjajah di Tana Luwu.
Melalui wadah tersebut Andi Achmad bersama 40 pemuda memimpin gerakan perampasan senjata Jepang di gudang Hakim Tai Palopo pada tanggal 2 September 1945 dengan berhasil membawa 20 senjata laras panjang dan puluhan Pistol. Tujuan dari gerakan perampasan senjata tersebut diakibatkan karena para pejuang gagal mendapatkan senjata secara damai demi kebutuhan dalam proses perjuangan.
Selain itu, Andi Achmad menjadi pimpinan PRI/PKR yang menjadi tokoh sentral dalam berbagai gerakan bersenjata rakyat Luwu terhadap Belanda. Sebuah peristiwa bersejarah yang dikenal masyarakat Luwu sebagai serangan umum 23 Januari. (Idwar Anwar, 2005). Menurutnya rencana serangan umum tersebut akan dilakukan pada tanggal 25 Januari 1946, namun karena situasi tidak aman yang diakibatkan tentara KNIL melakukan pembantaian membabi buta kepada masyarakat yang berani melawan Belanda. Pada akhirnya para pejuang yang dipimpin Andi Achmad mempercepat serangan pada 23 Januari 1946.
Pasca serangan itu, Andi Achmad menjadi pemimpin tertinggi Polisi Istimewa merangkap sebagai wakil kepala staf PKR Luwu yang memimpin pasukan PKR Luwu menuju Cappasolo dan sekitarnya dan mendampingi Datu meneruskan perlawanan kepada Belanda.
Tercatat dalam sejarah, ia berhasil memimpin beberapa pertempuran antara lain pertempuran Tarue (13 Februari 1946), pertempuran Salu Karondang (17 Februari 1946), pertempuran menghadapi serangan bersenjata pasukan sekutu bersama KNIL tanggal 2 Maret 1946. Tanggal 2 Juli 1946 Andi Achmad bersama pemimpin PKR lainnya ditangkap pada saat setelah kontak senjata dengan pasukan Belanda di Benteng Batu Pute. Saat itu Andi Achmad bersama Datu Luwu Andi Djemma dan temannya di PKR ditawan oleh tentara KNIL dan dipindahkan dari penjara ke penjara yakni Kendari, Kolaka, Makassar dan Jakarta.
Penangkapan Andi Achmad bersama M. Yusuf Arief, M. Landau Dg Mabbate dan M jufri mereka divonis hukuman mati oleh pengadilan militer Belanda karena mereka dianggap telah melakukan perlawanan secara fisik kepada Belanda. Namun karena hasil konferensi Meja Bundar di Den Haag Belanda, yang memberikan pengakuan kedaulatan Negara Republik Indonesia membuat ia bersama teman seperjuangannya di PKR dibebaskan Belanda pada 2 Februari 1950.
Setelah selamat dari hukuman mati, Andi Achmad tidak berhenti dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, ia tetap melanjutkan pengabdiannya dalam mengisi kemerdekaan menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil dengan menjabat Kepala Pemerintahan Negeri Makale/Rantepao tahun 1952 dan sekretaris BKKBN Sulawesi Selatan pada tahun 1974 hingga 1978. Selain itu ia juga menjabat sebagai Bupati Luwu pada tahun 1968-1972 dan Anggota DPRD Sulawesi Selatan 1982-1987. Sebagai keturunan Kerajaan Luwu ia pernah menjadi Datu Luwu pada tahun 1994.
Berkat Jasanya dalam mempertahankan kemerdekaan ia memperoleh sejumlah penghargaan di antaranya Bintang Gerilya, Satya Lencana Perang Kemerdekaan Pertama dan Kedua, Bintang Satya Lencana Keamanan, Bintang Satya Lencana Karya sapta, penghargaan Gelar kehormatan Veteran Pejuang Kemerdekaan RI 1981, piagam penghargaan dan medali Perjuangan Angkatan 45/1990, piagam penghargaan Presiden RI dan Lencana Cikal Bakal TNI, dan Penghargaan perjuangan Angkatan 45/1995.
Andi Achmad wafat 29 September 2002 dan meninggalkan dua istri dan 13 anak. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan kota Palopo. Ia meninggalkan warisan kemerdekaan di Tana Luwu, yang sampai saat ini masih dinikmati masyarakat Luwu secara keseluruhan. Ia layak menjadi inspirasi bagi anak muda saat ini tentang bagaimana menjaga idealisme dalam melawan ketidakadilan. Bahwa perjuangan itu penuh dengan darah dan air mata.
Reporter : ENK
Editor. : AS