Agus Salim salah satu Pahlawan Nasional Indonesia pernah mengucapkan pepatah kuno Belanda “Leiden is Lijden“, jika diterjemahkan berarti “memimpin adalah derita”. Jalan menjadi pemimpin bukanlah jalan yang mudah, siapa pun yang menjadi pemimpin harus siap dengan jalan menderita. Demikian Andi Arfan Basmin, Kepala Desa Senga Selatan, mengutip kata-kata ini ketika ditemui di Kantor Desa Senga Selatan 11 Februari 2020.
Kantor desa yang terletak di pinggir jalan ini, terlihat berantakan karena sedang dalam tahap renovasi. Kami tiba terlebih dahulu. Setelah itu, seorang anak muda berbaju merah, bercelana jeans kusam, ditambah sepatu boat juga datang. Dilemparkannya senyum sembari mengulurkan tangan untuk menjabat tangan kami. Setelah itu, memohon maaf karena harus menerima tamu dalam keadaan belepotan. Ia menjelaskan baru saja dari kebun desa bersama warganya membajak lahan. Dengan menyeka keringat yang membasahi dahinya, dia mengajak kami kebagian belakang kantor. Sebuah ruang terbuka yang sejuk dengan pandangan kebun masyarakat. Kebun yang dipenuhi pepohonan.
Walau berdarah Luwu, Andi Arfan Basmin lahir dan besar bukan di Luwu. Lahir pada 28 Mei 1990 di Makassar—dulu bernama Ujung Pandang, pendidikan SD dan SMP juga dijalani di kota yang sama. Kota dengan julukan kota daeng. Sementara SMA dilakoni di Jakarta. Kepergiannya ke Jakarta untuk sekolah bukan tanpa alasan. Sebelumnya, kedua adiknya telah lebih dahulu berada di Jakarta. Sebagai seorang kakak dia memiliki tanggungjawab untuk menjaga adik-adiknya.
Semasa di Jakarta dan bersekolah, Arfan telah menjejaki dunia organisasi kepemudaan seperti AMPI. Bahkan pada usia 19 tahun telah dipercaya menduduki jabatan sekjen di Kosgoro Jakarta. Aktivitas berorganisasi lebih digelutinya hanya saat di masa SMA, namun saat berkuliah di Universitas Yos Sudarso Surabaya intensitasnya jadi berkurang. Di masa kuliah, ia lebih menggeluti bisnis teripang. Karena bisnis ini, Arfan harus pulang balik Jakarta-Surabaya. Bagi Arfan, berorganisasi dan bisnis telah membangun dirinya untuk dapat bergaul dengan siapa saja. Tanpa memandang status dan posisi orang lain dan jabatan politik serta organisasinya.
Tahun 2012, Arfan berhasil menyelesaikan kuliah di Universitas Yos Sudarso. 2013 akhirnya ia kembali ke Luwu. Saat itu, bersamaan dimulainya tahapan Pilkada Luwu tahun 2014. Dan ayahnya Basmin Mattayang salah satu kandidat. Sayangnya, kala itu, Basmin Mattayang tidak terpilih menjadi Bupati. Pasca Pilkada, ia memilih ke Kalimantan. Pilihan Kalimantan, berkat saran dari ibunya Hayarna Basmin. Di Kalimantan, ia mengurusi bisnis tambak orang tua. Kala di kalimantan itu, Arfan menganggap sebagai berproses mencari jati dirinya.
“Selama setahun saya hidup di pinggir sungai. Tanpa teknologi. Tak ada sinyal handphone. Aktivitas untuk mengisi kekosongan hanya duduk menatap sungai dengan perahu yang lalu lalang. Atau bersenda gurau dengan pekerja tambak. Mendengarkan keluh kesa mereka yang hampir sama setiap hari” Arfan menerangkan dengan penuh semangat. Bagaimana tidak, akunya, di sanalah ia banyak belajar. Belajar memahami kehidupan. Efifaninya melihat hidup, berkat pergaulannya dengan pekerja tambak itu. Di situ pula ia memahami dengan baik bahwa manusia pasti memiliki perbedaan pandangan. Tapi di sisi lain manusia punya kesamaan. Makanan yang dimakan sama saja sehingga tidak dengan posisi dan jabatan harus menjadi sekat. Menjadi pembatas yang memisahkan kemanusiaan kita. Di Kalimatan Timur Itulah dakunya, ia menemukan bahwa hidup itu fleksibel saja. Dan hidup kita perlu definisikan oleh diri kita sendiri tidak oleh orang lain. Dan itulah hidup merdeka. Pelajaran besar itu, kemudian dibawanya hingga menjadi Kepala Desa Senga Selatan.
Baginya sekalipun sebagai anak Bupati Luwu, dia adalah seorang Kepala Desa tetap saja berbeda. “Bapak saya adalah bapak saya, me is me—saya adalah saya”. Bapak punya kebijakan dan cara pandang pada jabatannya, saya pun demikian sebagai kepala desa. Walau begitu saya tetaplah anak yang harus meminta pendapat dan restunya dalam sinergitas antara pemerintah daerah dan pemerintah desa dalam membangun daerah.
Sekalipun Arfan selalu menduduki jabatan penting dalam organisasi, seperti Kosgoro, AMPI dan KNPI pada akhirnya Arfan harus memilih untuk melepas semua. Alasanya, karena posisi organisasi dirasanya diperoleh begitu mudah dan tidak sepadan dengan pengalaman dirinya. Selain itu, untuk mengabdi kepada masyarakat masih banyak ruang lain yang tak mesti dalam posisi penting organisasi. Jabatan harus menyesuaikan dengan pengalaman. Kesadaran itu, membuatnya berpikir harus memulai dari bawah. Posisi atau jabatan bukan untuk sekadar gagah-gagahan.
Jika selama ini menggeluti banyak dunia bisnis lalu kenapa pada akhirnya terjun ke dunia politik praktis?
Baginya, ia tidak bisa keluar dari politik praktis karena modal pengabdian yang signifikan itu sendiri lewat politik. Peralihan antara pengusaha jadi politisi, hanya pilihan dan hal itu lumrah yang keduanya bisa tetap berjalan. Cuma bagaimana dalam berpolitik mampu memperlihatkan kualitas seseorang dalam pengabdian.
Apa sebenarnya politik itu?
Bukan masalah menjadi Caleg dan Cabup dan sebagainya, tapi sebuah ruang dan jalan untuk pengabdian. Karena prinsip itu, Arfan juga selalu memotivasi anak muda untuk tidak berpangku tangan dan hanya mau mengabdi ketika mendapat posisi. Anak muda harus berani memilih sesuatu yang kurang mengenakkan dalam pengabdian. Menurutnya, seorang tidak akan bisa merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, jika kita tidak terjun langsung hidup bersama mereka. Selain itu, kondisi saat ini harus memberikan ruang yang sebesar-besarnya kepada siapa saja termasuk anak muda untuk mengabdi pada jabatan terendah sekalipun. Apakah menjadi ketua RT, Kepala Dusun, Aparat Desa, seharusnya peran pemuda berada di situ membantu pemerintah untuk bisa bersinergi mengangkat harkat dan martabat masyarakat.
Sebagai orang yang pernah menduduki jabatan penting organisasi, dan bisa bertemu dengan banyak orang besar dan sekarang anak bupati, memastikan Arfan berada posisi dan lingkaran elit. Hingga menimbulkan banyak stigma tentang seorang anak bupati tak seharusnya menjadi kepala desa tapi harus mengambil posisi lain yang lebih strategis. Namun Arfan memiliki pandangan sendiri. Justru dengan posisi seperti sekarang ini menjadi tantangan terbesar. Baginya ini langkah untuk melepas ego dengan label elit selama ini. Menjadi kepala desa adalah jalan real pengabdian untuk masyarakat.
Walau demikian, Arfan secara pribadi tak pernah terpikirkan untuk menjadi kepala desa. Pasca tidak lolos menjadi anggota legislatif pada Pilcaleg 2019, ada banyak keluarga yang mendatanginya meminta maju menjadi salah satu calon kepala desa di Senga Selatan. Menurutnya, awalnya ia menolak, hal ini terkait usia dan pengalamannya di organisasi membuat dia berhati-hati dalam menerima amanah yang diberikan oleh orang lain. Sebab baginya, untuk menduduki sebuah posisi di masyarakat masih banyak ruang dan tempat lain. Namun pandangannya berubah ketika bertemu dengan kakaknya, Arham Basmin yang sekarang menjabat Ketua KNPI Sulsel
“Kamu selalu bicara mau mengabdi. Jika mau mengabdi, maka harus mengambil sikap memilih maju jadi kepala desa. Karena kepala desa adalah ruang pengabdian yang real”. Itulah kalimat Arham Basmin kepadanya yang membuatnya berpikir. Setelah menerima wejangan dari kakaknya, Arfan tidak langsung mengiyakan. Arfan menemui ibunya, Hayarna Basmin. Menyampaikan dorongan masyarakat untuk memintanya maju sebagai kepala desa. Ibunya, memberi masukan agar dirinya maju saja. Tapi dakunya, ibunya menitipkan pesan, “kita tidak boleh memperlihatkan contoh yang hanya sekadar diucapkan secara lisan saja, tapi bagaimana kita bisa memberikan contoh nyata”
Terpilih menjadi kepala Desa Senga Selatan melalui proses yang demokratis, Arfan akhirnya memiliki ruang formal untuk mengabdi kepada masyarakat. Hal pertama yang dilakukannya, kembali mengajak masyarakat untuk menghidupkan budaya gotong royong yang sudah mulai hilang di masyarakat. Akunya, ia hanya melakukan hal sederhana dengan mengimbau di masjid. Mendatangi warga berbicara langsung di mana dan kapan pun. Akhirnya gotong royong kembali hidup di Desa Senga Selatan ini setelah sekian lama tidak ada. Dalam proses gotong royong sudah banyak hal dilakukan di antaranya pembuatan kebun desa yang bekerjasama dengan TP PKK Luwu.
Arfan tidak hanya sekadar mengimbau kepada masyarakat, tapi dalam gotong royong warung-warung kecil di Senga Selatan juga memperoleh manfaat. Setiap warung akan mendapat jatah untuk menyediakan makanan bagi masyarakat dan didanai oleh pemerintah desa. Dengan ini bukan hanya masyarakat yang merasakan manfaat gotong royong tapi juga pemilih usaha warung-warung di Senga Selatan.
Dalam penggunaan dana desa, Arfan mulai mengurangi pembangunan fisik. Di tahun 2020, terdapat pembagian yang setara antara anggaran pemberdayaan dan pembangunan fisik. Dalam pembangunan fisik ada beberapa hal utama yang dilakukan seperti program bedah rumah yang sejak 10 tahun untuk pertama kalinya menggunakan dana desa di Senga Selatan. Dalam satu tahun ditargetkan membangun 10-15 rumah.
Selain itu, pembangunan trotoar multi fungsi sepanjang ± 400 meter. Trotoar ini nantinya akan menjadi area publik di mana pada siang hari bisa dimanfaatkan oleh anak sekolah. Pada sore hingga malam hari, dapat dimanfaatkan masyarakat. Pemanfaatan trotoar sebagai area bisnis di sore hingga malam hari nantinya akan dikelola oleh BUMDes. Dan melibatkan masyarakat Desa Senga Selatan sebagai pelaku usaha.
Selain pemberdayaan masyarakat, hal terbesar yang menjadi mimpi Arfan untuk desanya adalah bagaimana mempertahankan budaya dan kearifan lokal sebagai jati diri masyarakat. Di mana Senga Selatan dapat menjadi sebuah tempat yang masyarakatnya tidak menolak hal yang modern tapi tetap mempertahankan budaya dan kearifan lokal. Dalam pemerintahannya di Senga Selatan, Arfan berencana akan mengadakan ritual macceratasi sekali dalam dua tahun. Dengan demikian misi untuk Senga Selatan sebagai lokus kearifan dapat terwujud. Arfan berharap Senga Selatan dapat menjadi miniatur Luwu dalam kebudayaan dan kearifan lokal.
Reporter : CSD
Editor : AS