Renaisans Awal Kokohnya Akal dan Menyusutnya Peran “Agama”

  • Whatsapp

Renaisans adalah antitesis dari situasi pikiran dan sosial abad pertengahan. Istilah renaisans secara harfiah berarti “kelahiran kembali”. Orang-orang yang terlibat dan memperjuangkan renaisans punya imajinasi bahwa kemajuan manusia ke arah yang lebih baik—lebih baik dari abad pertengahan hanya bisa dijumpai dengan kembali menghidupkan semangat kebudayaan Yunani dan Romawi kuno.

Renaisans adalah upaya untuk menghidupkan warisan-warisan kebudayaan antik Yunani dan Romawi kuno yang sudah lama terkubur oleh kebudayaan abad pertengahan yang diwakili oleh gereja. Bagi mereka, di sana, pada warisan Yunani dan Romawi kuno, kita menemukan sebuah kebudayaan  di mana penghargaan atas dunia sini sangat tinggi.

Bacaan Lainnya

Lain sisi, pada warisan Yunani dan Romawi kuno, kita akan menemui penghargaan pada martabat manusia dan pengakuan atas kemampuan rasio dalam menuntun hidup manusia. Menemukan jalan kebahagiaan abadi.

Di fase renaisans ini, gerakan humanisme tumbuh dan berkembang. Gerakan ini mempercayai bahwa manusia memiliki kemampuan—sebagai ganti kemampuan adikodrati yang dianut di abad pertengahan—hasrat dan penghargaan terhadap usaha intelektual.

Rasio mampu melakukan segalanya di banding dengan iman. Pada tangan humanisme inilah rasio dikukuhkan sekaligus pertanda abad pertengahan tak lama lagi akan mengalami krisis. Gempa terbesar yang dialami oleh abad pertengahan, ketika penemuan-penemuan ilmiah tercipta. Adalah Nicolas Copernicus, dengan penelitian astronominya meruntuhkan astronomi tradisional Asristoteles dan Ptolemaues yang kala itu dianut.

Astronomi tradisional meyakini bahwa bumi menjadi pusat semesta—matahari mengelilingi bumi—tapi Copernicus menunjukkan itu sebagai kesalahan. Melalui perhitungan matematis temuannya berkata lain: Bumi mengelilingi matahari. Temuan ini meruntuhkan anggapan sebelumnya bahwa bumi sebagai pusat semesta. Meruntuhkan penafsiran religius kaum gereja. Karena temuan ini, kita tahu Copernicus mengalami nasib tragis. Dia menjadi tumbal rasio pada awal sekarat abad pertengahan. Belakangan apa ditemukan oleh Copernicus terbukti benar.

Tahun 1610, adalah Galileo Galilei melalui teleskop temuannya meneropong bahwa memang bumilah yang mengitari matahari. Karena dukungan terhadap temuan Copernicus tersebut akhirnya mengalami nasib yang sama dengan pendahulunya. Para inkuisisi (intelejen gereja) menangkap dan menghadapkannya pada otoritas gereja di Roma. Di sana Galilei mendapati penyiksaan, matanya dicungkil hingga menemui ajalnya.

Apa yang dilakukan Copernicus kelak dilanjutkan oleh Galilei, merupakan sebuah langkah dalam membangun fondasi apa yang disebut ilmu modern—ilmu ilmiah yang tak bersandar pada asumsi metafisik tanpa pembuktian empirikal. Sebelum Galilei, upaya mendorong ilmu pengetahuan ilmiah terjadi di Inggris.

Francis Bacon melakakukan langkah fantastis yang juga menohok abad pertengahan. Bacon menganggap manusia merupakan ukuran segalanya. Bacon sangat percaya, bahwa apa yang dimiliki oleh manusia mampu untuk mengatur dirinya sendiri. Dakunya, masalah-masalah hidup manusia tak bisa diselesaikan dengan agama tapi dengan ilmu pengetahuan.

Bacon ingin mengembangkan pengetahuan observatif yang bersifat empiris. Ucapanya yang sangat terkenal, Knowledge is Power—pengetahuan adalah kuasa. Sebuah isyarat bahwa pengetahuan indrawi punya sifat fungsional yang dapat dipergunakan untuk kemajuan manusia. Dengan pengetahuan manusia dapat berkuasa atas alam.

Adalah Francis Bacon pula yang ingin membersihkan manusia dari idola-idola yang sungguh menghambat kemajuan manusia. Idola-idola itu, adalah tradisi-tradisi yang sangat dipuja seperti berhala. Hal inilah membuat manusia enggan berpikir kritis. Ada empat idola yang dikritisi dan perlu untuk disingkirkan menurut Bacon yakni: tribus, cave, theatra, fora.

Idola tribus, berlandaskan pada prasangka kolektif—anggapan orang banyak yang alamiah. Sedangkan untuk prasangka personal yang sangat memengaruhi untuk tidak objektif inilah idola cave. Untuk fora yang berarti pasar bagi Bacon hal sangat berbahaya di antara idola. Sebab asumsi orang banyak diyakini dan menjadi penilaian kita yang sejatinya tak teruji.

Selanjutnya, idola theatra, Bacon amati sebagai pikiran atau landasan filosofis yang dianut hanya sebagai pentas seperti drama teater yang akan tamat. Untuk menyingkirkan idola itu, di sini Bacon menawarkan sebuah metode. Induksi menjadi pilihan metode oleh Bacon. Baginya, induksi sebuah metode dalam penarikan kesimpulan umum berangkat pengamatan atas data-data khusus. Dengan penekanan pada sesuatu yang bersifat empirikal hingga Bacon disebut sebagai bapak empirisme.

Di renaisans, Martin Luther, adalah tokoh yang juga punya kontribusi besar. Ia memelopori gerakan massa—gerakan reformasi teologis dan politik. Martin Luther mendorong demokratisasi religius sampai kepada masyarakat bawah. Berupaya untuk mendesentralisasi penafsiran terhadap kitab suci yang sepanjang abad pertengahan dikuasai oleh para petinggi gereja saja.

Reformasi yang diusung oleh Martin Luther mendorong keimanan subjektif sebagai antitesis dari keimanan objektif yang sangat didengungkan saat itu. Di ambang modernitas, pikiran Niccolo Machiavelli dalam dimensi politik juga merupakan tikaman yang menusuk dijantung gereja.

Machiavelli, terlibat dalam menghilangkan dominasi agama dalam politik kenegaraan. Baginya, negara jangan sampai dikuasai oleh agama. Justru yang perlu terjadi negara yang harus mendominasi agama. Katanya, agama penting dan dibutuhkan untuk mengintegrasikan negara saja. Machiavelli, merupakan orang terlibat dalam memisahkan agama dan negara. Sekularisasi menjadi tak terhindarkan.

Upaya yang dilakukan oleh Copernicus, Bacon, Galilei, Machiavelli, Martin Luther, di sinilah awal kembalinya rasio dalam memasuki panggung peradaban manusia menjadi timbangan setiap langkah manusia. Rasio kembali menjadi kompas dalam perjalanan manusia bergelut dengan semesta. Menjadi penuntun membangun relasi dengan sesuatu di luar dirinya. Ini juga menjadi titik-titik awal sebuah pengukuhan subjek. Bahwa ia mampu menemukan suatu yang baru berkat usahanya sendiri.

Di sini otonomi manusia kembali memiliki tempat setelah sebelumnya dikubur sedemikian rupa. Usaha-usaha dalam menemukan suatu yang baru tak ayal mengantarkan pada sebuah era yang baru pula yakni modern. Ini pula menjadi penanda ambruknya abad pertengahan.

Barangkali ada yang berpikir bahwa abad pertengahan mengalami keruntuhan itu karena soal waktu yang terus melaju. Tentu anggapan ini tidaklah tepat. Sebab, selain jalannya waktu, di sana, disertai sebuah perkembangan pemikiran dirintis oleh banyak pemikir sebelumnya.

Dari aspek yang lebih filosofis, hadirnya Rene Descartes benar-benar semakin menentukan pijakan kokoh rasio manusia. Rene Descartes yang ketahui sebagai bapak filsafat modern membawa manusia pada pengukuhan akan kemerdekaan berpikir. Di tangannya, ia menemukan bahwa manusia sebagai subjek memiliki sesuatu yang fundamental dan aksiomatis yakni “aku berpikir”. “Aku berpikir” sesuatu yang jelas dan terang. “Aku berpikir” mejadi dasar untuk merambah mengetahui di luar diri.

Pada Descartes, manusia sebagai subjek adalah final dengan kediriannya. Di sinilah otonomi manusia semakin menemukan argumentasi yang lebih jelas. Apa yang telurkan oleh Descartes menjadi keimanan baru. Menjadi corak berpikir yang baru yang semakin jauh dari corak dan keimanan manusia-manusia abad pertengahan.

Kehadiran Descartes semakin mempertegas proyek pemikiran modern yakni problem kesadaran manusia di mana pada abad sebelumnya problem ketuhanan menjadi dominan. Di tangan Descartes posisi pengetahuan modern semakin menanjak. Rasionalisme yang anutnya kemudian banyak diikuti oleh orang.

Pada satu sudut dalam terang modern kaum empirisme mengambil jalan berseberangan dengan Descartes. Orang-orang seperti Thomas Hobbes, Jhon Locke, Berkeley, dan David Hume mengambil lintasan konkret dalam pengetahuan. Tujuannya adalah membersihkan pada akal manusia segala hal metafisik agar benar-benar tercapai pengetahuan yang murni.

Hobbes mengusung kemandirian filsafat. Filsafat harus dibersihkan dari gagasan-gagasan religius. Tidak boleh mencampurkan antara teologi dan filsafat. Segala hal yang dimaksud substansi seperti Allah, roh, jiwa dll, harus disingkirkan sebab yang demikian tak mampu untuk diraba. Filsafat harus berpikir ketat dengan membatasi pada problem kontrol alam yang sifatnya materi.

Oleh: Asran Salam
Dosen, Penulis, Wakil Ketua Pemuda Muhammadiyah Kabupaten Luwu dan Founder Rumah Baca Akkitanawa

Pos terkait