Demokrasi Selalu Tak Sempurna

Politik selaku punya pesona. Mungkin karena ia terkait hidup hajat orang banyak. Terkait hidup kita. Politik seperti kedua tangan yang bisa merangkul, pula kadang memukul. Ia biasa memeluk dengan mesra tapi tak jarang ia melukai begitu sadis.

Politik, di Yunani, disebut dengan polis. Kota yang diami untuk hidup bersama dengan teratur dan damai. Politik, punya cita tentang apresiasi orang tanpa ada diskriminasi. Memberi ruang kepada siapa pun tanpa ada beda. Ini yang banyak dinyanyikan kepada kita ihwal politik.

Banyak sistem dalam politik. Yang paling populis dan kita anggap ideal adalah demokrasi. Demokrasi punya cerita panjang untuk meyakinkan banyak orang bahwa ia sistem terbaik. Sistem yang banyak menjadi pilihan hingga di luar dari demokrasi tak ada lagi.

Dulu, kala demokrasi sedang mekarnya di Yunani, sedang tumbuh dan menyenangkan.  Hal ini memikat seorang pemuda cemerlang untuk terlibat. Bahkan ia mengikrarkan diri untuk ambil bagian dalam politik.  Platon yang lahir 427 SM saat muda, punya semangat mengarungi ruas-ruas politik yang berliku. Satu kali kecewa, namun tertarik lagi setelah demokrasi hidup.

Platon awalnya punya harapan yang melambung pada sistem demokrasi. Tapi siapa yang bisa membaca masa depan secara utuh. Harapan kadang kala memang akan menguap terbang bersama angin, setelah itu berlalu. Barangkali itu suasana jiwa Platon akhirnya ditemui kala apa yang diharap (demokrasi) membunuh orang yang dicintainya.

Socrates, sahabat sekaligus guru yang dicintainya mati “di tangan” demokrasi. Semenjak itu, ia undur diri dari politik praktis—tepatnya dari demokrasi. Di situlah ia punya pandangan lain tentang demokrasi. Tak seperti sebelumnya. Ia akhirnya bertutur dengan sebuah analogi bahwa proses demokrasi seperti sekelompok penumpang kapal yang mayoritas tak memiliki kemampuan. Tak memiliki pengetahuan memilih siapa yang paling layak menjadi nakhoda. Platon menilai demokrasi sejenis histeria dan simbol kebodohan.

Selepas kematian Socrates, Platon mengembara ke luar negeri–tapi panggilan kemanusiaan tak bisa ia tolak. Jiwanya selalu bergejolak. Ia kembali ke asalnya dan mendirikan Akademia yang terkenal itu.

Di Akademia, ia membangun traktat politik yang baru. Melalui pengajaran ia menyampaikan gagasan-gagasan politiknya. Di tempat itulah ia mulai membangun gagasan politik–yang seratus delapan puluh derajat berbeda dengan demokrasi.

Akhirnya, membaca Platon, mungkin kita akan terbuka bahwa demokrasi bukanlah segalanya. Barangkali kita akan memikirkan pilihan lain. Tentunya bukan sistem yang sepenuhnya juga benar tapi setidaknya ia tidak seberingas demokrasi. Dan itu mungkin!

Coba kita lihat tawaran Platon. Platon menawarkan empat premis politiknya salah satunya, ia percaya bahwa kebajikan adalah pengetahuan dan  manusia memiliki bakat di mana kecerdasan serta kemampuan manusia tidaklah sama.

Karena kebajikan adalah pengetahuan, bagi Platon, orang yang punya pengetahuan seharusnya mengambil peran untuk urusan publik. Menjadi pemimpin untuk orang banyak. Platon menginginkan penguasa itu dari kalangan filosof (faqih) yang telah teruji dari pengajaran yang panjang.

Tapi lihatlah di demokrasi, tak sedikit yang mengambil urusan publik adalah mereka yang tak punya pengetahuan. Hanya karena seseorang punya modal (uang dan relasi) ia akhirnya terpilih untuk mengurusi publik. Dan itu lelucon yang kita amini secara sukarela dalam pemilu.

Bila dalam demokrasi semua orang setara, karena itu semua orang memiliki ruang menjadi pemimpin dan dipimpin. ini ide lelucon yang paling elementer dari demokrasi. Untuk kritik ini, barangkali ini maksud pendakuan Platon,

“Wahai warga negara, kami ingin menyampaikan kepada kalian kisah kami. Kalian adalah bersaudara, namun Tuhan membentuk kalian secara berbeda. Beberapa di antara kamu memiliki kekuasaan untuk memerintah, dan dalam kelompok ini ada yang membuat emas, karenanya mereka memiliki kehormatan terbesar; yang lain membuat perak, menjadi pelengkap; yang lain lagi menjadi petani atau tukang yang membuat kuningan dan besi”

Senada dengan Platon, kita tahu Nietzsche, filosof Jerman yang sangat terkenal dengan ide kematian Tuhan itu, punya cara sendiri mengolok-olok demokrasi. Dakunya, demokrasi adalah seni menghitung hidung semata.

Demokrasi sistem yang melanggengkan kawanan–kerumunan. Nietzsche sangat membenci mental kawanan semacam itu. Ia melihat kawanan ciri mental budak. Dan kita tidak akan pernah lahir sebagai manusia unggul jika mental kawanan seperti demokrasi itu selalu mengisi ruas-ruas hidup kita.

Kritik demokrasi telah panjang melawati lintasan zaman. Kita tak banyak melirik kritik itu. Mungkin itu sebab, kita masih merayakan demokrasi dengan segala cacat yang dimilikinya. Kita merayakan demokrasi sambil menggerutu jika akhirnya orang yang pilih tak seperti apa yang diharapkan. Kita mengumpat kiri kanan jika pada akhirnya demokrasi tak membela hak-hak kita. Barangkali demikian memang demokrasi, kita harus selalu menyiapkan ruang kekecewaan pada hati kita. Menyiapkan ketabahan pada masa depan yang tak kita harapkan.

Oleh: Asran Salam
Dosen, Penulis, Wakil Ketua Pemuda Muhammadiyah Kabupaten Luwu dan Founder Rumah Baca Akkitanawa

Pos terkait