Pendidikan vokasi adalah proses pembelajaran yang mempersiapkan peserta didik untuk memasuki lapangan kerja setelah menyelesaikan studinya. Artinya pendidikan vokasi merupakan kondisi ril yang dibentuk untuk mewujudkan pengetahuan yang sesuai dengan/diharapkan dalam bekerja. Dengan demikian, dalam penyelenggaraan pendidikan vokasi, kurikulum pendidikan vokasi (dalam arti metafisik) selayaknya disusun sesuai kenyataan yang dibutuhkan untuk bekerja, metode dalam proses belajar mengajar (arti epistemologi), juga disesuaikan dengan kondisi seperti bekerja, dan memiliki hasil (arti axiologi) yang diharapkan sesuai dengan tuntutan pasar kerja.
Sebagaimana pemikiran para filosof realisme dan pragmatisme, rumusan prinsip dasar pendidikan vokasi seperti rumusan Miller (1985) bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan vokasi terdapat tiga prinsip dasar yaitu peserta didik, program, dan proses. Menurut Miller ada empat prinsip penting dalam pendidikan vokasi: pendidikan vokasi terbuka untuk semua, individu yang memiliki keterampilan khusus dapat dilayani melalui pendidikan vokasi, dan peserta didik merupakan bagian integral dalam pendidikan vokasi, dan etika bekerja dapat dipromosikan melalui pendidikan vokasi.
Miller meneguhkan juga bahwa prinsip dasar program pendidikan vokasi adalah: kurikulum pendidikan vokasi merupakan turunan/ derivasi dari kebutuhan dalam dunia kerja, jenis pekerja merupakan dasar pengembangan kurikulum pendidikan vokasi, inovasi merupakan bagian dari pendidikan vokasi, dan melalui pendidikan vokasi, peserta didik dipersiapkan untuk awal memasuki dunia kerja. Adapaun prinsip dasar proses dalam pendidikan vokasi adalah: peran serta masyarakat (dunia kerja) merupakan bagian yang menentukan dalam menyusun program pendidikan vokasi, artikulasi dan koordinasi merupakan bagian pokok dalam pendidikan vokasi, dan penilaian (evaluasi) dilakukan secara terus menerus.
Prinsip tersebut sesuai dengan pemikiran Prosser (teori Prosser) dalam pendidikan vokasi. Dengan demikian, filosofi prinsip dasar pendidikan vokasi adalah interaksi peserta didik dengan lingkungan (sejenis dunia kerja) merupakan bentuk metafisika, kemudian prinsip dasar peserta didik dalam pendidikan vokasi dalam proses belajar mengajar baik teori maupun praktik merupakan bentuk epistimologi, dan terakhir adalah prinsip program dan memberi pengalaman belajar sesuai dengan situasi kerja merupakan bentuk axiologi.
Politik Kebijakan
Secara historis, perjalan pendidikan Indonesia sudah cukup panjang. Setelah Indonesia merdeka, pendidikan umum yang merupakan kelanjutan sistem pendidikan kolonial Belanda kewenangannya diserahkan pada Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PPK), sedangkan pendidikan agama berada dibawah Kementerian Agama.
Pendidikan vokasi yang merupakan pendidikan umum sebenarnya sudah ada sejak kekuasaan VOC, tepatnya tahun 1737 sekolah vokasi pertama berdiri berupa akademi pelayaran. Namun, sekolah tersebut ditutup pada tahun 1755. Tahun 1853, Belanda kembali membuka sekolah vokasi “Ambachts School van Soerabaja” atau Sekolah Pertukangan Surabaya, yang diperuntukkan bagi anak–anak Belanda dan bangsawan Indonesia.
Masa penjajahan Jepang, pendidikan vokasi kembali dibangun dari nol, sebab segala sesuatu yang berbau Belanda dihapuskan. Sekolah pertukangan kembali dibuka yaitu Sekolah Teknik Menengah (STM)di Ciroyom, Bandung. Sekolah ini hanya bertahan 3 tahun dan sempat mempunyai murid sebanyak 360 orang. Sekolah ini ditutup setelah Indonesia merdeka tahun 1945. Para guru dan peserta didik terpencar, bergabung dengan satuan–satuan perjuangan yang terbentuk secara spontan, seperti Tentara Pelajar Republik Indonesia (TPRI), Badan Keamanan Rakyat (BKR), dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Masuk era Suharto, melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) I tahun 1969, bentuk pendidikan vokasi mulai mengadopsi model dari negara lain dan secara bertahap pendidikan vokasi mendapat tempat pada sistem pendidikan Indonesia. Tonggak pengembangan pendidikan vokasi secara terpadu di Indonesia dimulai pada Repelita V, melalui penetapan UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dilanjutkan dengan ditetapkannya PP No. 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah yang memuat beberapa ketentuan dalam pengembangan pendidikan vokasi. Melalui Kepmendikbud No. 490 Tahun 1992 tentang Sekolah Menengah Kejuruan mulai dilaksanakan pengembangan unit produksi sebagai bagian proses pembelajaran di SMK. Kegiatan unit produksi meliputi kegiatan memproduksi barang dan jasa dengan memanfaatkan semua sumber daya yang ada di sekolah dan lingkungannya.
Lebih lanjut, tahun 1997 pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan pengembangan melalui penerapan Pendidikan Sistem Ganda (PSG) dengan konsep link and match (Kepmen No. 323/U/1997) yang merupakan awal upaya pelibatan dunia usaha/industri dalam pendidikan vokasi. Sistem ini mengadopsi model dual system di Jerman, dengan melakukan beberapa penyesuaian.
Secara teoretis, PSG merupakan sistem pendidikan yang dianggap ideal untuk meningkatkan relevansi dan efisiensi SMK. Praktik peserta didik di industri merupakan bagian dari kegiatan penerapan ini. Sejumlah kegiatan dilakukan SMK untuk melibatkan dunia usaha/industri seperti penandatanganan MoU sekolah dengan dunia usaha/industri, dan kunjungan guru-guru secara reguler ke dunia usaha/industri.
Pelaksanaan otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan merupakan konsekuensi logis dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terkahir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1995 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Salah satu komponen penyelenggaraan pemerintahan yang didesentralisasikan ke daerah Tingkat Satu (Provinsi) untuk pendidikan SMA dan Tingkat Dua (Kabupaten) untuk pendidikan TK, SD, dan SMP.
Nyaris setiap rezim kekuasaan, kebijakan politik pendidikan yang paling disorot adalah tarik menarik kepentingan urusan guru, penerapan kurikulum yang berganti-ganti, status guru honorer serta pro dan kontra pelaksanaan Ujian Nasional. Pengelolaan guru menjadi tarik menarik, karena jumlahnya yang banyak, sehingga banyak kepentingan politik maupun ekonomi yang berkelindan. Dalam konteks ujian nasional, sejak tahun 2009 ujian nasional kursus diganti dengan uji kompetensi yang diselenggarakan oleh lembaga sertifikasi yang dibentuk oleh organisasi profesi yang diakui pemerintah sesuai ketentuan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Sejak Tahun 1997 Indonesia sudah mulai menerapkan konsep link and match yang kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan Majelis Pendidikan Vokasi Nasonal dan Majelis Pendidikan Vokasi Provinsi. Sesuai pasal 15 UU Nomor 20 Tahun 2003, keberadaan SMK dimaksudkan untuk mempersiapkan lulusan yang siap bekerja baik secara mandiri maupun bekerja pada industri tertentu.
Dalam perjalanannya, nomenklatur berubah. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2019 tentang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ada perubahan mendasar dimana dalam Perpres ini pendidikan vokasi kini berdiri sendiri dalam Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi (Ditjen Pendidikan Vokasi). Sebelumnya, pendidikan vokasi bernaung pada Direktorat Jenderal lain, seperti Direktorat Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) pada Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah, maupun Direktorat Pembinaan Kursus dan Pelatihan yang bernaung pada Ditjen Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat.
Karena pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi peserta didik baik cipta, rasa, dan karsa dan agar potensi menjadi nyata, dapat berfungsi dalam perjalanan hidup maka dalam perspektif politik kekuasaan sebagai ruang menghasilkan kebijakan pendidikan harus benar-benar membuat kebijakan yang mempercepat pengembangan potensi tersebut. Dengan demikian, politik pendidikan dimaknai sebagai penggunaan kekuasaan untuk mendesakkan kebijakan pendidikan.
Pendidikan bukan alat politik tetapi politik adalah pendidikan dan sebaliknya pendidikan yang tidak dapat memilih bukan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan negara. Memilih dalam hal ini adalah kebijakan-kebijakan yang bermanfaat bagi individu (warga negara). Dalam konteks lain, budaya politik seseorang atau suatu masyarakat berbanding lurus dengan tingkat pendidikan seseorang atau masyarakat. Hal itu bisa dipahami mengingat semakin tinggi kesempatan seseorang menempuh pendidikan, semakin tinggi pula seseorang memiliki kesempatan membaca, mengevaluasi, dan mengkritisi realitas sekitarnya. Singkatnya bahwa kunci dari pendidikan politik terletak pada politik pendidikan. Politik pendidikan yang dimaksud termanifestasi dalam kebijakan- kebijakan strategis pemerintah dalam bidang pendidikan.