“Aku tak mengenal diriku, perempuan.
Kecuali jika, aku belajar mengenalnya dan memahaminya”
—Amora Milaranti—
Menyelami lautan perempuan tentu tak akan sama ketika menyelami lautan laki-laki. Bahkan cukup banyak tinta di tumpahkan demi perdebatan akan hal itu. Tak sedikit juga kalangan pemikir seperti Aristoteles, Mahatma Gandi, Suciko Murata, Simone De Beauvior turut mengeluarkan ide-idenya tentang perempuan.
Namun di balik itu semua, tak cukup memberikan gambaran terhadap persoalan-persoalan perempuan. Seiring perkembangan zaman perempuan menjadi topik yang semakin menarik untuk di bincangkan, seolah telah menjadi santapan lezat publik. Publik ikut melakukan konstruksi.
Tato mulier in utero, perempuan adalah rahim, makhluk yang akan selalu eksis dalam spesies manusia bahkan jumlahnya menghampiri separuh penduduk bumi. Walau demikian, sisi pandang miring tentang perempuan selalu ada sepanjang sejarahnya. Perempuan adalah perempuan dengan sifat khususnya yang kurang berkualitas, ujar Aristoteles.
Thomas Aquinas juga menganggap perempuan sebagai makhluk yang tercipta secara tidak sengaja. Sedang pada Zaman kuno, perempuan terdefinisikan secara keji bahwa mereka adalah barang rendahan seolah diciptakan hanya sebagai alat penerus generasi dan semacam pembantu rumah tangga serta pelepas nafsu seksual lelaki.
Yang lain berpendapat bahwa perempuan hanya berfungsi melahirkan anak. Sedang Plato menilai, kehormatan lelaki pada kemampuannya memerintah, sedangkan ‘kehormatan’ perempuan menurutnya adalah pada kemampuannya melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sederhana dan hina sambil terdiam tanpa bicara.
Berdasarkan data biologi yang di jelaskan dalam buku Second Sex, bahwa perempuan di ibaratkan sebuah rahim, sebuah indung telur, Ia adalah betina. Namun pandangan tersebut ternyata masih menjadi bagian yang rumit dipecahkan sehingga kita tidak seharusnya melihat fakta-fakta biologi saja melainkan sangat diperlukan menelaah dari sudut pandang lainnya seperti ontologi, ekonomi, sosial, dan psikologi agar tidak menghantarkan kita pada kesalahan sebuah konsepsi ataupun pandangan terhadap perempuan.
Perempuan mengalami rentetan ketidakadilan berupa marginalisasi, subordinasi, stereotip, tindakan kekerasan, beban kerja ganda bahkan secara fisik perempuan juga di jadikan tontonan nikmat bagi kaum laki-laki.
Tidak hanya itu dalam berbagai sektor, misalnya dalam sektor agama yang sering kali mempermasalahkan kedudukan perempuan, sebab ayat dan hadis yang ditafsir misoginis. Bayangkan saja jika pada persoalan suara saja dianggap aurat bagi perempuan. Pada bidang politik hukum, kepemimpinan perempuan sangat terbatas.
Jika belacak lebih jauh ke belakang, nasib pilu tentang perempuan di mata masyarakat sangatlah rendah. Pada tahun 586 M (sebelum datangnya Islam), agamawan di Perancis masih mendiskusikan apakah perempuan boleh menyembah Tuhan atau tidak.
Sepanjang zaman pra Islam, posisi perempuan tak pernah berubah, tugas utamanya hanya menjadi pelayan kaum lelaki. Nasib perempuan sebelum datangnya agama Islam, bagaikan sebuah benda yang bebas diperlakukan apa saja oleh pihak lelaki.
Dan posisinya pun menjadi kelompok kelas dua. Pada zaman jahiliah kelahiran seorang anak perempuan adalah aib yang sangat hina, sehingga para orang tua yang memiliki anak perempuan akan menguburnya hidup-hidup. Kemudian pada saat ia menjadi seorang istri, maka posisinya di anggap sebagai sukarelawan yang harus mempersembahkan dirinya terhadap nafsu suaminya, dan setelah itu jika tak disenangi lagi maka akan di buang begitu saja.
Kondisi patriarkal di mana perempuan di pandang berdasarkan garis keturunan atau leluhur, kaum laki-laki membeli perempuan layaknya membeli hewan ternak atau budak, ia memaksakan seluruh kehendaknya bahkan, adalah hal yang wajar ketika seorang laki-laki memiliki istri sebanyak yang ia suka.
Dari rangkaian cerita di atas yang di buat singkat tentang penindasan perempuan, menjadikan pengantar wacana yang seyogianya membuka cakrawala berpikir. Bahwa permasalahan perempuan adalah ketika perempuan tak mengenal jejak sejarahnya dan capaiannya.
Perjuangan dan kebangkitan gerakan perempuan tak akan cukup atas bentuk respons yang sangat jauh dari harapan perempuan masa kini. Memang betul hak memilih, hak politik dan hak ekonomi telah terealisasi namun semuanya itu runtuh ketika tanggung jawab generasi menjadi semakin tak berdaya dan tak berguna sebab tangan dan akal perempuan yang semakin lemah dan tak berguna.
Sebab itu, perempuan semestinya menyadari esensi dari eksistensinya. Dengan cara bercermin untuk melihat fungsi dan dampak dari perbuatannya. Tentang bagaimana perempuan memperindah akalnya dengan pengetahuan dan wawasan. Juga memperelok dirinya dengan kesantunan dan kelembutan hatinya. Sebab perempuan adalah pelaku utama dalam tatanan semesta.