Jalan Kontroversi Kahar Muzakkar (1)

part2

Sejak masa kecil, saya tidak pernah ditundukkan oleh lawan-lawan saya dalam perkelahian. Dan sejak dewasa saya tidak pernah menjadi pak turut pendapat seorang di luar ajaran Islam…Abdul artinya hamba Allah. Kahar artinya Allah yang maha kuat dan perkasa. Muzakkar artinya jantan, bersifat jantan (laki-laki sejati). Jadi Abdul Kahar Muzakkar berarti hamba Allah yang bersifat laki-laki sejati.

Dalam buku pribadinya, ditemukan kalimat di atas untuk menggambarkan tentang Kahar Muzakkar. Kalimat berbahasa Bugis yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia di atas, dapat digunakan dalam menilai kepribadian seorang Abdul Kahar Muzakkar. Bagi sebagian orang, kalimat tersebut menjadi isyarat kenapa Kahar melakukan pemberontakan dengan membentuk Darul Islam (DI) atau Tentara Islam Indonesia (TII) dan melawan pemerintah.

Bacaan Lainnya

Pria kelahiran 24 Maret 1921 ini, menjadi legenda masyarakat Sulawesi Selatan. Ketika kecil, Kahar Muzakkar dibesarkan di lingkungan Keluarga yang notabenenya adalah keluarga Bugis Luwu yang dikenal memiliki tingkat keberanian tinggi dan berwatak keras. Orang-orang suku Bugis Luwu dikenal memiliki keberanian merantau, sehingga banyak di antara mereka yang ketika remaja meninggalkan kampung halaman untuk mencari penghidupan yang lebih baik atau sekadar bertualang.

Sejak kecil Kahar Muzakkar dibesarkan oleh ayahnya bernama Malinrang sedangkan ibunya bernama Hajjah Kessa yang merupakan orang terpandang dan kaya raya di kampungnya. Ayahnya mempunyai banyak hewan ternak, sawah dan tanah yang terbentang cukup luas di beberapa wilayah Kerajaan Luwu sehingga keluarganya cukup dihormati masyarakat. Saat kecil ia bernama La Domeng nama itu diperolehnya karena ia memiliki kebiasaan main domino bersama temannya di kampung.

Semasa remaja, Kahar Muzakkar diminta untuk merantau ke Jawa. Di mana Jawa pada saat itu merupakan pusat pemerintahan Indonesia. Karena itu, Jawa banyak dijadikan tujuan utama merantau bagi orang-orang Luwu. Di Solo, Kahar melanjutkan pendidikan di Sekolah Mu’allim Muhammadiyah.  Di sekolah itu, ia hanya menempuh pendidikan selama tiga tahun dan tidak menyelesaikan pendidikannya sebab Kahar terpikat dengan seorang gadis Solo yang kemudian diperistrikannya.

Tindakan Kahar memperistrikan gadis yang bukan berdarah Bugis Luwu, mendapat penentangan keras dari ayahnya. Dengan tindakan itu, ia diusir dari tanah kelahirannya sebagai bentuk hukuman bagi seorang laki-laki yang memperistrikan perempuan di luar dari keturunan Luwu. Setelah mendapat hukuman, ia kembali ke Solo untuk meniti karier hidupnya melalui perjuangan politik bersama Hisbul Wathan.

Di Jawa, Kahar meniti karier politiknya melalui perjuangan melawan penjajah. Diangkatnya Kahar Muzakkar sebagai komandan persiapan TRI-Sulawesi memberi harapan cerah pada kariernya. Karena pada saat itu, ia satu-satunya putra Sulawesi Selatan yang berpangkat tinggi di Lingkungan Tentara Republik Indonesia (TRI). Dengan capaian itu, membuatnya merasa memiliki kekuasaan untuk mengatur pasukannya.

Di tengah meniti karier di lingkungan tentara, pengangkatan Letnan Kolonel J.F Warrou sebagai komandan Brigade XVI dapat dikatakan sebagai kegagalannya dalam perjuangannya meraih jabatan tertinggi di lingkungan TRI. Dengan kegagalan meraih jabatan, membuat Kahar Muzakkar melepas jabatannya sebagai wakil Komandan Brigade XVI, diduga saat itu juga awal keguncangan kariernya.

Setelah itu, Kahar bergabung dengan Kolonel Bambang Supeno. Dari sini, ia mendapat tugas untuk membentuk komando seberang yang meliputi Kalimantan, Sunda Kecil, Sulawesi dan Maluku Kecil. Tugas ini, ternyata mempunyai arti penting bagi masa depannya, sebab tugas ini, ia kelak dapat melakukan pemberontakan serentak di beberapa wilayah setelah ia membentuk Darul Islam (DI) atau Tentara Islam Indonesia (TII).

Atas kegagalannya dalam mencapai pucuk kepemimpinan di TRI, ia membentuk Koesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) untuk mempertahankan kemerdekaan RI dengan memaksakan agar KGSS menjadi bagian dari Angkatan Pemuda Republik Indonesia (APRI). Namun usaha itu gagal karena dianggap tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.

Menurut Prof. Dr. Suwelo Hadiwijoyo dalam bukunya Kahar Muzakkar dan Kartosoewirjo Pahlawan atau Pemberontak? bahwa Komando Teritorium VII Wirabuana Letnan Kolonel Mursito mengeluarkan dekret bernama Decreet Kawilarang, berisi pembubaran KGSS. Pembubaran itu, direspons keras oleh Kahar dengan memberi ultimatum bahwa KGSS akan melawan keputusan pemerintah dan akan memberontak di beberapa wilayah termasuk di Sulawesi Selatan.

Ketika gerakan pemberontakannya semakin kuat, berbagai usulan dan perundingan yang ditawarkan pemerintah dalam menyelesaikan masalah tersebut. Termasuk membentuk missi interdepartemental pada tanggal 10 Desember 1950 yang melahirkan hasil bahwa pemuda Sulawesi selatan merasa dirinja berdjuang dan menganggap harus mendapatkan penghargaan.

Selanjutnya, KGSS yang dipimpin Kahar diubah menjadi Corps Tjadangan Nasional (CTN) oleh pemerintah pada tanggal 24 Maret 1951. Pada waktu itu anggota KGSS datang dari Sulawesi Selatan untuk kemudian dilantik di Markas Besar Tentara, sedangkan Kahar Muzakkar dilantik menjadi pemimpin tertinggi CTN. Pelantikan itu disambut baik dan bahagia semua pihak termasuk seluruh lapisan masyarakat Sulawesi Selatan.

Lima hari setelah pelantikan, masalah muncul di kalangan Angkatan Muda Republik Indonesia, termasuk menghalangi langkah pelantikan regu atau laskar KGSS selanjutnya untuk menjadi APRI. Masalah tersebut tak lain kekacauan keamanan yang terjadi di Sulawesi Selatan oleh sekelompok orang yang mengatas namakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin oleh Kapten Lanapu DG. Manati dan Batjo Daeng Sikki.

Kahar selaku pemimpin CTN mengusulkan melakukan perlawanan kepada APRA, namun usulan tersebut ditolak oleh pemimpin tertinggi APRI. Penolakan itu lantas melahirkan anggapan bahwa APRI tidak menganggap keberadaan CTN sebagai bagian dari pasukannya. Dalam pertemuan penting yang diadakan pada tanggal 7 Agustus 1951 antara KGSS atau CTN yang diwakili Kahar dan APRI yang diwakili Letkol J.F. Warrou melahirkan kesepakatan di antaranya, melantik CTN Sulawesi Selatan menjadi APRI, jumlah anggota yang akan dilantik 4.000 orang dalam empat infanteri dan Kahar Muzakkar akan menjadi wakil komandan TT VII- Indonesia Timur dengan pangkat Letnan Kolonel.

Melihat kesepakatan itu, jalan penyelesaian antara CTN dengan APRI telah tercapai. Dengan demikian harapan Kahar telah tercapai dengan ini menjadi jalan penerang baginya beserta pasukannya meniti karier lebih tinggi di lingkungan kemiliteran. Karena menganggap jalan ini menyimpang dari tujuannya awalnya. Maka sehari sebelum pelantikan, Kahar sebagai pimpinan CTN, mengeluarkan apa yang disebut dengan siaran kilat.

Reporter: ENK
Editor     : AS

Pos terkait