Dalam perspektif Murtadha Muthahhari—pemikir Iran—bahwa kebahagiaan dan kesenangan merupakan dua hal yang berbeda, walaupun berdekatan. Kebahagiaan bersifat eksistensial, tidak memiliki perlawanan di dalamnya. Sebaliknya, kesenangan dapat saja berlawanan dengan kesenangan lainnya. Kesenangan yang lawan dari kesengsaraan hanya produk angan-angan diri manusia. Kita menolak kesengsaraan dan menyukai kesenangan adalah pembedaan sifat dan naluri manusia.
Akan tetapi kebahagiaan yang dibedakan dari kesenangan dan kesengsaraan adalah produk akal manusia. Oleh sebab itu, kebahagiaan hanya dapat dicapai bagi mereka yang memiliki dan menggunakan akalnya. Sebab akallah yang menunjukkan jalan bagi manusia dalam mengidentifikasi yang baik dan tidak baik buat dirinya.
Kebahagiaan adalah harapan semua manusia. Sebagian, mungkin melihat kebahagiaan dengan apa-apa yang mendatangkan kesenangan. Hal ini banyak dijelaskan dalam dunia psikologi.
Sebagian lagi melihat kebahagiaan sebagai kemampuan jiwa manusia mengenal dan sampai pada pengetahuan akal. Semakin dekat jiwa manusia pada pengetahuan akalnya, maka semakin bahagialah dia. Sehingga dalam pandangan ini, bahagia hanya mereka yang memiliki akal sempurna. Inilah yang banyak kita temukan dalam kajian filosofis.
Sebagian lagi menyatakan, kebahagiaan adalah pengenalan kepada Tuhan. Dalam pandangan ini, kebahagiaan adalah mereka yang telah fana dalam diri Tuhan. Dan yang terakhir ini banyak kita temukan dalam pandangan sufistik.
Ada juga yang mengatakan bahwa kebahagiaan itu hanya sudut pandang kita dalam memahami kehidupan. Maksudnya, bisa saja pada satu keadaan orang berbeda menyikapinya. Satu menganggap keadaan itu baik, yang lain menganggap itu buruk. Dengan kata lain, sejauh mana kita menggunakan pengetahuan kita, sejauh itulah kebahagiaan menurut kita.
Misalnya bencana yang menimpa, tentu pada umumnya beranggapan hal ini buruk. Sedangkan, sebagian lagi menyatakan petik saja pelajaran dari kejadian ini. Pendapat yang pertama, tentu menyatakan bencana tidaklah mendatangkan kebahagiaan, sebaliknya pandangan kedua ini tidak menyatakan hal itu kesengsaraan atau pun kebahagiaan. Sehingga pendapat ini, ketika ditanyakan makna kebahagiaan, maka jawabannya tentu relatif, sebab tergantung kemampuan merefleksikan suatu keadaan.
Umumnya pandangan di atas hanya menjelaskan kebahagiaan dalam pemaknaan-pemaknaan. Dalam pandangan Mulla Sadra—seorang filosof muslim—mengatakan kebahagiaan tidak hanya dipahami dalam pemaknaan-pemaknaan semata. Lebih dari itu, kebahagiaan adalah ikhtiari dan pencapaian akal. Sadra kemudian menguraikan kebahagiaan dalam pendekatan teori fundamental serta gradasi wujud.
Selanjutnya ia bertutur bahwa kebahagiaan adalah sebagaimana tingkat persepsi manusia. Dan setiap persepsi memiliki fakultas-fakultas yang berbeda-beda. Tiap derajat kebahagiaan dapat dilihat dari fakultas persepsi yang digunakannya. Misalnya, jika persepsi material yang lebih dominan, maka ia hanya sebatas kesenangan semata. Sebaliknya, jika fakultas akalnya yang mendominasi wujudnya, maka sampailah dia pada hakikat kebahagiaan sesungguhnya.
Lanjut Sadra melihat bahwa persepsi itu diidentikkan dengan wujud. Jadi, dapat dikatakan bahwa kebahagiaan adalah kesempurnaan wujud itu sendiri. Semakin berkualitas wujud manusia, maka tingkat kebahagiaannya pun semakin meningkat dan lebih sempurna. Tingkatan kebahagiaan yang paling tinggi dan menjadi sumber kebahagiaan ialah wujud Tuhan, kemudian wujud akal, lalu wujud jiwa, dan paling terendah wujud materi.
Jadi, kebahagiaan itu ialah ketika kita sampai pada sumber sejati, yaitu Tuhan. Sebab Tuhan adalah sumber kebahagiaan sejati, maka jelaslah makna bahwa kebahagiaan itu adalah kesempurnaan, dan kesempurnaan adalah kebaikan itu sendiri. Sebaliknya, penderitaan disebabkan karena manusia semakin jauh dari sumber sejatinya: Tuhan.