Jalan Cinta, Jalan Taklid yang Sempurna

  • Whatsapp
gambar google

Sejarah hidup manusia tak lepas dari pada kesadaran hidupnya dalam sejarah. Manusia adalah makhluk yang menyejarah, demikianlah seringkali kata itu dilekatkan pada manusia. Manusia adalah subjek yang hidup di antara perjalanan waktu. Perjalanan dari sebelumnya hingga perjalanan akan datang. Perjalanan yang tak kosong. Selalu terisi. Hidupnya adalah tentang masa depan. Manusia menghadirkan selalu dirinya umtuk menjangkau “masa depan”.

Ilmu futuris mencoba menelisik lebih jauh bahwa kehidupan hari ini akan menciptakan kemajuan masa depan. Dahulu ketika manusia masih berkuda, dia melewati fase demi fase dan kemudian sampai zaman modern mengenal kendaraan motor, mobil hingga pesawat terbang. Masa itu, mungkin manusia telah memeras pemikirannya untuk menemukan “masa depan”. Semua tak biasa hadir begitu saja. Namun, tercipta dari kesungguhan hidup manusia sepanjang perjalanannya.

Dalam hidup kita sedang menanti dan dinantikan. Para Sufistik mengungkap bahwa keistimewaan manusia dalam masa depan ialah menanti yang dinantikan yakni Cinta sebuah perjalanan yang melintasi semua batas sekat sebagaimana ungkap Jalaludin Rumi cinta, para pecinta yang melebur kepada yang dicintanya.

Proses mencapai tahap penantian amatlah panjang, manusia secara niscaya hidup dalam kebermaknaan hingga menemukan tempatnya yang sejati. Menurut Ibnu Arabi hidup yaitu seperti lingkaran perjalanan kecuali manusia menemukan tempat bersemayam.

Menunggu memiliki tiga dasar; pengetahuan, cinta, dan contoh. Ketiga dasar ini adalah satu yang tidak terpisahkan dalam kehidupan nyata. Pengetahuan yang muncul dari intelek akan melahirkan cinta hati, cinta pada gilirannya akan menggerakkan pelayan untuk memenuhi harapan yang dipersonalisasi. Dengan kata lain, bertindak sebagai perwujudan cinta, sedangkan cinta adalah manifestasi dari pengetahuan. Inilah yang dimaksud dengan menyelaraskan pikiran, hati dan amal, atau keselarasan pikiran, perasaan, dan tindakan.

Filsafat Sadra mengajarkan kita cara pandang tauhid yang gradatif, yaitu paradigma yang melihat pluralitas sebagai unitas (ketunggalan) yang bergradasi. Begitu juga dengan pengetahuan, cinta dan teladan (baca tindakan meneladani) yang pada hakikatnya merupakan entitas yang satu yang bergradasi. Wujud teladan dan wujud cinta pada hakikatnya merupakan wujud pengetahuan dalam gradasinya masing-masing.

Oleh karena itu, kualitas pengetahuan memiliki efek terhadap kualitas cinta dan konsistensi keteladanan. Pengetahuan yang komprehensif dan argumentatif akan melahirkan cinta permanen , dan kesetiaan cinta terwujud dalam konsistensi meneladani yang dinanti. Inilah yang dimaksud dengan taklid melek yang bersumber dari cinta melek yang lahir dari pengetahuan argumentatif. Yaitu taklid yang didasari oleh ketulusan cinta terhadap pribadi yang ditaklidi. Dan ketulusan cinta yang diperoleh dari keparipurnaan pengetahuan atas pribadi yang dicintai. Hal ini dikarenakan pengetahuan yang komprehensif dan argumentatif akan melahirkan ketundukan dan penyerahan akal, Puncak ketundukan akal akan turun dan memaksa jiwa untuk tunduk dan menyerah pula hingga terbentuklah cinta. Cinta yang didasari pengetahuan ini bagaikan bara api dalam hati yang memaksa diri untuk menyerah dan tunduk hingga lahirlah kepasrahan total untuk mengikuti (taqlid) dan membentuk diri serupa dengan yang dinanti dari setiap dimensi.

Hidup dalam kebermaknaan merupakan hidup sesungguhnya seiring itu manusia kerapkali memanifestasikan cintanya, yakni sifat Tuhan dalam kehidupan sebagaimana sifat adil yang terwujud kasih sayang, rindu, gairah secara multidimensi  adalah kesinambungan kebermaknaan hidup manusia menuju cinta itu sendiri, yang selalu menampakan kehidupan autentik—hidupnya  manusia paripurna.

Cinta itu melibatkan seluruh cinta, peleburan antara pencinta dan dicintanya. Dari kisah Adam hingga akhir zaman bagaimana para pecinta selalu menjalankan hidup dalam peleburan kebermaknaan dengan cinta. Tuhan selain manifestasi cinta, sesungguhnya keselamatan. Orang yang selalu menjalankan hidup dengan cinta ialah seorang yang hidup dalam keselamatan. Orang baik di dunia ini tendensi destruktif hanya karena kurang produktif berbuat kebaikan. Orang jahat di dunia ini sebab lebih tinggi produksi kejahatan.

Cinta adalah tendensi pada kebaikan sebab cinta adalah kemenangan. Manusia yang menuju pada kemenangan dengan kata lain hidup dalam kebenaran, sebab manusia tak selalu hampa dalam sejarahnya, penantian manusia selaras dengan kesadaran dirinya sebagai manusia. “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, Aku hendak menjadikan khalifah di bumi. Mereka berkata, apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu? Dia berfirman, sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Q. S Al-Baqarah Ayat 30.

Kemerdekaan manusia tendensi pada perilaku hanif kebenaran. Dan pada kesadaran paripurnanya sebagai hamba beribadah (pengabdian) baik ibadah sosial maupun personal. Pengabdian dengan kesadaran paripurna menjadi ciri khas keutamaan dalam Islam sebagaimana diimplementasikan dalam kepemimpinan Nabi Ibrahim setelah dilantiknya. Hal ini terdapat secara inklusif dalam QS. Al-Baqarah Ayat 122,126,127,128. Manusia dan kemerdekaannya yakni sebagai hamba berkesadaran paripurna dan pecinta sebuah kebijaksanaan.

Oleh : Irmawati
Aktivis Perempuan Palopo, Mahasiswa Universitas Cokroaminoto Palopo

Pos terkait