Ruang Siber yang Bersahaja di Tahun Politik

Tatkala masyarakat berselisih pendapat, mereka membincang tentang bagaimana kehidupan sosial kita diatur, perihal seperti apa meningkatkan kehidupan dan menciptakan masyarakat yang baik, maka dari sanalah politik bermula untuk menemukan kemufakatan dan kompromi atas debat-debat itu.

Politik menyitir Andrew Heywood adalah sebuah kata yang menggambarkan perbincangan antar-subjek, dialog antara manusia dengan manusia, untuk membuat, memperbaiki dan memelihara aturan umum dalam kehidupan[1].

Sayangnya, pada level operasi politik pemilihan presiden lalu, utamanya linimasa kita ditumpuk celaan, nyinyiran, bahkan ujaran kebencian berbasis suku, agama, ras dan golongan, yang tak ayal membuat politik tersungkur menjadi kata yang buruk.

Memang, semakin kesini, operasi politik pada pemilihan tingkat apa pun tampaknya juga telah berfokus di media sosial. Tampaknya itu dimulai kala Jokowi-Ahok menjadi jawara Pilgub DKI, yang menggunakan media sosial sebagai salah satu medium kampanye [2].

Jika diperhatikan, panasnya pilpres tampak masih merembes hingga sekarang ini. Baranya, kita bisa lihat, tercecer pada kolom komentar berita tentang Jokowi Widodo. Atau Anies Baswedan. Atau aktor politik dari ragam partai dan kelompok yang berbeda pilihan tahun kemarin. 

Lalu, kita disambut pemilihan kepala daerah yang serentak tahun 2020 ini. Media sosial, utamanya grup-grup Facebook di daerah-daerah, mulai menghangat. Para calon mulai bermunculan. Diikuti simpatisasan dan tim sukses unjuk gigi. Atau mereka yang cari panggung saja.

Maka sudah seharusnya kita tidak mengulang luka-luka Pilpres yang hampir memecah kita pada dua episentrum politik. Sejak awal, masyarakat kita telah terbelah ke dalam ragam kelompok agama, ideologi, bahasa, budaya, etnis, dan ras. Lalu mestikah diobrak-abrik lagi demi politik kekuasan?

Pilkada mestinya tidak se bar-bar itu

Media sosial sebagai fasilitas interaksi sosial dan tempat mempertukarkan informasi. Dalam posisi itu, ia sebetulnya dapat menjadi corong untuk saling memberi saran dan masukan terhadap pemerintah, sebagaimana yang dimaksud David Easton dalam model sistem politik yang ia ampuh[3]. 

Input yang berupa tuntutan atau dukungan, jika dipabrikasi di media sosial dengan bagus, akan memengaruhi tentu secara informal bagaimana keputusan-keputusan pada suprastruktur politik. Pada gilirannya, interaksi komunikasi ini akan memberikan output kebijakan yang lebih baik.

Media sosial dapat menjadi signifikan di situ. Ia adalah ruang untuk menyalurkan suara-suara  kita yang mengendap di batok kepala. Ia dapat menjadi jembatan antara masyarakat sipil dan para pemangku kebijakan.

Dalam pilkada, media sosial dapat dijadikan mimbar untuk mewacanakan kiat-kiat dan bagaimana tokoh pilihan kita akan merealisasikan janji-janji kampanyenya jika terpilih nanti. Media sosial bisa menjadi perangkat marketing politik.

Tak sekadar nyinyir dan mencela tokoh sebelah. Atau mencemooh saudara-sudara kita yang berbeda pilihan. Barangkali, kita terlanjur luput membedakan mana kritik, dan apa yang disebut nyinyir, celaan, dan cemoohan.

Cara-cara berbalas komentar, bahkan tak pernah sampai dan layak disebut debat itu, layaknya die-hard para calon presiden pada tahun kemarin, tak boleh direplikasi dalam pemilukada. Sekali lagi, kita tidak boleh mengulang karut marut ini.

Pada suatu definisi yang lain, politik itu adalah konsensus—sebagai cara pemecahan konflik. Lalu, bagaimana mungkin kita memulainya dengan nuansa-nuansa kebencian, ataupun kata-kata yang menyiratkan penghasutan?

Tampaknya, kita perlu sejenak menyimak Fahruddin Faiz, akademisi UIN Sunan Kalijaga. Ia mengemukakan tiga konsep dasar dalam mengkritik. Pertama, kritik konstruktif yaitu ketika suatu ide yang belum lengkap, lalu melengkapinya menjadi utuh.

Kedua, kritik dekonstruktif yaitu ketika terdapat sebuah gagasan yang secara struktur keliru, sehingga harus ditata lagi. Dan ketiga, kritik destruktif yaitu menyodorkan sebuah gagasan baru untuk menggantikan gagasan yang memang salah dan mesti disubstitusi. Dengan prasyarat utama, bahwa kita memiliki pengetahuan atas gagasan yang akan dikritik tersebut.

Melalui jalan ini, dalam konteks pilkada, kita dapat menumpuki ruang siber dengan ragam ide dan gagasan yang berbobot-berkualitas. Di sana, kita disodongkan khazanah pikiran para kandidat kita. Di sana pula kritik hadir sebagai anasir penting nan krusial. Semuanya demi kepentingan pembangunan dan kemajuan daerah.

Setelah itu, tak ada lagi celaan atau nyinyir belaka. Atau kata-kata berkonotasi buruk seperti penjilat dan sumpah serapah, terhadap mereka yang berbeda pilihan, hanya untuk menyembunyikan kegagalan dia mengkampanyekan kandidat pilihannya.

Berangsur-angsur, kata politik tidak lagi identik dengan prasangka buruk nan kotor; manipulasi, kebohongan, kekerasan. Atau seperti yang dibilang sejarawan Henry Adams pada pada ke-19 “pengorganisasian kebencian yang sistematis.[4].

Politik adalah aktivitas sosial, ia selalu merupakan dialog, dan tak pernah sebagai monolog. Antara subjek dan subjek. Antara manusia dan manusia. Antara kamu, dan aku. Pada media sosial di Pilkada ini, selayaknya mari kita isi bersama-sama dengan dialog kualitatif. Tanpa harus saling blokir. Atau mungkin saling lapor.[]

Catatan kaki:

[1] Andrey Heywood, Politik, edisi ke-4, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2014, hlm. 1-2.

[2] Nyarwi Ahmad & Ioan-Lucian Popa, Web Social Media, Politics, and Civism, Springer International Publishing, Switzerland, 2014, hlm. 101.

[3] Andrey Heywood, Politik, edisi ke-4, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2014, hlm. 35.

[4] ibid, hlm. 3


Oleh: Zulfiqar RG
 Mahasiswa Ilmu Politik Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin, dari ketinggian Rongkong Tana Masakke.
 

Pos terkait