Sebuah Pesan di Pagi yang Gila

  • Whatsapp

Ketika pagi datang, seorang anak muda di bilangan Alauddin memulai sebuah ritual minum kopi yang tak biasa. Dia memulainya dengan sastra dan kegilaan. Ketika pesanan kopinya datang, dia sedang membaca Seratus Tahun Kesunyian karya Gabriel Garcia Marquez serta sesekali melirik Madness and Civilization – A History of Insanity in age of Reason – karya Foucault yang terbit tahun 1988. Ada dua hal yang membuatnya membaca (Dan membawa dua buku itu).

Yang pertama, pada buku Gabriel, Ia bertemu dengan banyak kisah yang panjang dan sunyi. Namun, di antara kisah yang panjang itu, ada satu tokoh unik yang hadir dan hilang begitu cepat; Melquiades. Tokoh ini ditampilkan seperti sekilas iklan yang berlalu cepat, melompat, kemudian hadir kembali seperti hantu. Dia hadir sebagai bagian kecil, namun menjawab dan merangkum keseluruhan isi novel. Dialah, gipsi aneh, memuat pesan ajaib bagi masyarakat Meconda.

Bacaan Lainnya

Dalam Dea Anugrah Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu Yang Kita Punya dia menuliskan, misalnya, Keluarga Buendia, pusat kisah novel tersebut, mula – mula mengenal Melquiades sebagai “gipsi bongsor dengan janggut awut-awutan dan tangan serupa cakar burung gereja” yang memperkenalkan benda ajaib kepada para penduduk desa mereka yang terpencil.

Melquiades, seperti si Gila yang membuat takjub. Orang-orang kaget dan keheranan. Padahal yang dia bawa hanya seperangkat benda-benda sederhana. Sebuah benda yang bisa menarik logam, aluminium, besi, dan sebagainya. Dan benda itu adalah sebuah magnet. Tapi toh orang-orang (yang tak pernah melihat dunia luar) tetap terpukau dan takjub.

Dan Melquiades, seperti yang dikatakan Dea Anugrah, adalah seorang penampil yang membuat orang terpukau keheranan. Sang Gibsi yang rutin mengunjungi Maconda sekaligus sebagai pemberi nujum dan ramalan. Hal yang paling menyentak tentu saja ketika dia (lewat bahasa Gabriel tentu saja) meramalkan bahwa pengetahuan akan menghapus jarak. Ini dia katakan ketika membawa sebuah teleskop ke Maconda dan sekali lagi membuat orang-orang dilingkupi sunyi.

Tahun 1815, sebuah rumah sakit di Jerman juga memamerkan sebuah pertunjukan aneh dan memesona. Kegilaan dan Peradaban karya Foucault, mencatatnya dengan baik seperti sebuah sejarah yang tak biasa. Rumah Sakit Bethlehem yang berisi “orang-orang gila” membuat sebuah panggung untuk para masyarakat (rasional)-kiri borjuis – tertawa dan merasa takjub ;sebuah pameran kegilaan.

Foucault mengatakan bahwa pameran itu menghasilkan empat ribu pound yang diperoleh dari jumlah pengunjung yang mengejutkan. Bayangkan yang datang 96.000 orang per tahun. Menampilkan dan menikmati kegilaan akhir abad ke 18 adalah salah satu kemewahan dan mungkin juga kegilaan yang lain. Anda cukup datang dan membayar karcis satu peni (satu per seratus pundsterling) setiap Minggu.

Nampaknya kegilaan (mungkin juga kekacauan) sangat begitu memikat. Di sana ada ketidaktahuan, ketidaksadaran, irasionalitas, skandal, hingga kesenangan yang memuakkan. Kegilaan, kata Foucault, dipilih untuk mengamati kebisuan asilum-asilum, dan menjadi sebuah perbuatan publik yang memalukan. Karena diperuntukkan semata-mata hanya bagi kesenangan umum. Intrik dan konflik misalnya adalah negativitas yang dicintai para politisi dan elite. Hal itu, meski mengundang kekacauan, namun selalu membawa berkah kekosongan ataupun citra yang menaikkan popularitas.

Zdavir dalam sebuah artikelnya perihal kegilaan juga mendawamkan bahwa kegilaan sebagai sebuah kompleksitas kuasa yang kacau. Dalam kasus lebih umum, katanya, kegagalan pemerintah serta masyarakat sendiri dalam menggerakkan institusi-institusi sosial, menciptakan masyarakat yang chaotic, saling bersaing. Alih-alih saling bahu-membahu serta bergotong-royong membantu “yang lain”. Artinya, “yang lain” bisa jadi adalah musuh pada setiap kepentingan-kepentingan kuasa yang mereka jaga dan miliki.

Sebuah partai misalnya, beberapa hari yang lalu, dengan amat baik dan (mungkin) bangga mempertontonkan kegilaan saling melempar kursi pada sebuah forum. Para politisi senang dengan kekacauan. Konon, kondisi chaos itu akan dengan mudah memengaruhi kebijakan-kebijakan pada tingkat elite. Popularitas partai—tak peduli baik atau buruk—akan menanjak dan semakin berkibar. Politisi, pada ritual pemilu, akan menggunakan semua cara untuk memenangkan suara. Hal semacam ini nampaknya menjadi kegilaan-kegilaan yang bisa dinikmati saat ini.

Jika Malquiades hadir pagi ini sembari duduk dan minum kopi bersama anak muda yang gigil karena kesepian yang gila, mungkin dia akan diam dan berpikir. Mencari alat-alat dan penemuan (serta pengetahuan) baru untuk membuat ‘kekuasaan’ berhenti berlaku gila. Juga supaya manusia lewat institusi melihat “yang lain” sebagai manusia seutuhnya. Bukan sebagai manusia yang telah diberi defenisi dan ukuran di sana sini. Manusia dengan segala perangkat “kegilaanya”.
Malquiades diam saja. Anak muda itu juga tak bilang apa-apa.

Oleh : Syahrul Al-Farabi
Pegiat Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah Takalar

Pos terkait