Meski lebih besar, tiga orang perawat sulit membekuk Joseph Cassel yang bertubuh cebol. Di ruangan serba putih, Joseph mengamuk dan meneriakkan khotbah kebangkitannya. Ia juga mengancam menyayat lengannya yang sudah lebih dahulu berdarah. Darah itu, kata Joseph, untuk menebus dosa-dosa umatnya.
Nyatanya, ia mengancam orang-orang di sekitarnya dengan menggunakan bekas penutup makanan kaleng. Joseph mengaku dirinya adalah Yesus Kristus dari Nazareth, yang sebenarnya merupakan pasien pengidap skizofrenia akut di sebuah rumah sakit jiwa.
Tahun 1959, seorang dokter bernama Alan Stone, datang ke Rumah Sakit Ypsilanti State Michigan. Tujuan Dr. Stone datang ke rumah sakit ini demi melakukan penelitian mengenai gangguan identitas manusia disebabkan delusi.
Dr. Stone bukanlah dokter biasa. Ia dokter ahli jiwa berencana memulai eksperimen berisiko dan belum pernah terjadi sebelumnya. Di zaman itu, sudah lazim pendekatan menangani pasien gangguan jiwa menggunakan terapi kejut listrik, kurungan ruang sempit, dan penggunaan obat-obatan untuk meredam amukan pasien delusi.
Pendekatan Dr. Stone, dalam ilmu psikologi adalah jenis pengobatan menggunakan metode penyembuhan empati. Ia anti pendekatan penyembuhan ala pendisiplinan fisik berupa kejut listrik dan semacamnya. Saat itu karena berbeda, pendekatannya mendorong lebih jauh batas-batas kedokteran psikiatri yang berpendirian pasien gangguan jiwa mesti ditangani dengan ”keras”.
Di rumah sakit inilah ia bertemu Joseph sang Yesus Kristus dari Nazareth, juga tidak diduga bertemu Clyde Benson, seorang pasien yang juga mengaku diri sebagai sang Juru Selamat. Praktis, di rumah sakit itu ada dua pasien delusional dengan kesamaan problem identitas, yakni sama-sama mendaku sebagai Yesus Kristus.
Belum lama bertemu dua Yesus, berkat bantuan asistennya, Dr. Stone menemukan Yesus yang ketiga di rumah sakit lain. Ia adalah Leon Gabor, pria berkacamata, yang, ya, ia juga mengaku dirinya sebagai anak Allah, Yesus Kristus Sang Mesiah.
Setelah menemukan tiga ”Juru Selamat” dan menyadari ini adalah kasus unik, Dr. Stone memelopori perawatan sederhana, namun revolusioner: ia menempatkan tiga ”Tuhan” itu ke dalam satu ruangan sekaligus untuk menghadapi delusi mereka, dan melihat sejauh apa metode penyembuhannya dapat mengatasi, setidaknya, problem identitas pasien-pasiennya.
Apakah metode penyembuhan empati Dr. Stone berhasil? Untuk menjawab pertanyaan ini Anda saya perkenankan menyaksikan sendiri film bertitel Three Christs (2020), godokan sutradara Jon Avnet, berdasarkan buku nonfiksi Milton Rokeach The Three Christs of Ypsilanti.
Kenyataannya, film ini bagi saya tidak sekadar memberikan adegan-adegan empati, dan emosional melalui peran tokoh-tokohnya, melainkan sejumlah masalah, dalam arti apakah gangguan kejiwaan adalah masalah sepihak yang diputuskan otoritas tertentu? Apakah interaksi antara orang normal dan yang mengalami gangguan kejiwaan, mesti disikapi melalui pendekatan lain, atau tanpa penekanan tertentu dengan apa adanya? Apa tolok ukur normativitas, misalnya, ketika keduanya terlibat dalam suatu tema pembicaraan? Apakah keduanya dapat saling mempengaruhi kejiwaan masing-masing?
Apakah menggunakan terapi kejut listrik, dan semacamnya, yang dapat menimbulkan efek trauma berkepanjangan, dapat meminimalisir delusi dialami pasien? Bagaimanakah latar belakang seperti Joseph, atau Clyde, dan Leon, sehingga dapat mengklaim dan memanipulasi identitasnya sebagai Yesus Kristus? Apakah ini waham kebesaran yang sama, misalnya, seperti dialami figur-figur tertentu dalam dunia keagamaan atau politik?
Akar Delusi
Penyebab delusi, sampai hari ini belum definitif ditetapkan para ahli jiwa. Sifatnya yang kompleks bisa disebabkan apa saja. Depresi, stres, perundungan, kegagalan, ketidaknyamanan lingkungan kerja, faktor genetis…
Delusi dari kaca mata Sigmund Freud, bapak psikoanalisis, dinyatakan sebagai ekses negatif penipuan diri. Ini terjadi akibat naluri bawaan manusia mengalami represi dan penyalurannya dilarang di dalam masyarakat, yang menyebabkan konflik psikis. Untuk mendamaikan konflik internal ini, seseorang melakukan pemalsuan identitas melalui ilusi atau delusi sebagai cara mempertahankan dirinya. Uniknya, mekanisme pertahanan diri ini, menurut Freud dilakukan tanpa sadar dengan mengira ia telah mendamaikan konflik psikis dialaminya.
Itu artinya, di tahap ini, seseorang tidak sadar sedang melakukan penipuan diri, meskipun ia menganggap itu sebagai jalan keluar atas konflik psikis yang ia alami. Kata Freud, di waktu ini, semua pengalaman delusi orang-orang hakikatnya sedang menindas dirinya sendiri.
Untuk membongkar delusi, salah satu bagian penting dalam film ini adalah cara Dr. Stone berempati kepada ketiga pasiennya. Ia, meskipun menyadari bahwa dunia delusional bukan kenyataan sebenarnya, justru menggunakan dunia tipuan itu untuk mendalami keinginan-keinginan terpendam pasiennya.
Bersama Becky, asisten risetnya, Dr. Stone merancang diskusi kelompok, surat menyurat, dan intervensi tindakan dengan cara bertukar pengalaman di antara mereka. Di titik ini, pendekatan Dr. Stone membentuk lingkaran kepercayaan di antara mereka, dan pelan-pelan ketiga pasien yang awalnya saling bermusuhan bisa saling berkomunikasi dan bekerja sama.
Sebagaimana kebutuhan manusia normal lainnya, empati dan saling mendengarkan cerita satu sama lain, adalah premis film ini. Meski kesan humanis ini, di sepanjang film, ketika ia diaplikasikan menemukan rintangan-rintangan berupa standarnisasi keilmuan dan metode penyembuhan di dunia psikiatri yang kadang di luar batas kemanusiaan.
Waham kebesaran
Di Tanah Air, sebagai contoh, publik pernah mengenal Lia Eden, Ahmad Mussadeq, Dedi Mulyana, dan Sensen Komara sebagai orang-orang mengaku tuhan atau nabi penyelamat. Terakhir, lebih sedikit hati-hati tanpa mendaku tuhan atau nabi, muncul Rangga Sasana dan R. Toto Santoso, dua ”raja” dari kerajaan Sunda Empire dan Keraton Agung Sejagad. Belum sempat menyelamatkan dunia, kemunculan orang pengidap waham kebesaran macam ini, ada yang menarik diri dari masyarakat hidup eksklusif seperti komunitas Lia Eden, dan ada juga mesti dipaksa ”berkhalwat” di balik jeruji ”hotel prodeo”.
Manipulasi identitas adalah masalah. Meski sebagian besarnya dapat dikembalikan kepada problem psikis dan mental, tapi tidak sedikit justru timbul atas desakan keadaan sosial. Three Christs, meskipun dapat dinikmati sebagai drama bertema psikiatri, bisa juga di analisa ke dalam masalah-masalah sosial lebih luas. Dalam arti sebagai penyakit mental, waham kebesaran, dalam bentuk dan lain hal, dapat mendorong seseorang memanipulasi identitasnya demi mencari popularitas, atau bahkan otoritas kekuasaan.
Itu artinya, identitas dalam arti atribut dan embel-embel, merupakan personifikasi yang dapat direkayasa sepihak. Dalam wacana politik kekuasaan, identitas menjadi faktor penting demi meraup dan mempertahankan hierarki sosial sebagai seorang penguasa. Di Tanah Air, identitas menyangkut politik kekuasaan kerap bersinggungan dengan atribut keagamaan. Tapi berbeda dengan Joseph, Clyde, dan Leon, yang mendaku sebagai Yesus Kristus, jalan lapang manipulasi identitas di Indonesia dilakukan dengan mobilisasi atau mengumpulkan massa dan menjadi pemimpin di dalamnya. Meski tanpa perlu mendaku sebagai nabi atau Tuhan, sebagian di antaranya justru bertindak seolah-olah tengah menjadi Tuhan.