BelopaInfo – Luwu. Senin (01/06/2020). Kabupaten Luwu di tengah pandemi Covid-19, pemerintah desa, pemerintah daerah, hingga pemerintah pusat menyalurkan bantuan untuk mengatasi ancaman kemiskinan pada masyarakat yang terkena dampak covid-19. Sejumlah masyarakat tak mampu yang selama ini hanya diketahui sedikit orang, tetiba saja bermunculan dan viral di media sosial. Nitizen memposting kondisi orang miskin dengan mengajak nitizen lain untuk menyalurkan bantuan sebagai bentuk kepedulian. Sementara nitizen lain yang ikut peduli menjadikan kemiskinan warga yang viral ini sebagai alat untuk menyerang pihak tertentu.
Dalam persoalan ini dengan banyaknya bantuan sosial dan program Jaringan Pengaman Sosial (JPS) dari pemerintah, kemiskinan semestinya sudah dapat dikurangi. Program JPS yang hadir saat pandemi ini di antaranya Program Keluarga Harapan, Kartu Pra Kerja, Padat Karya Tunai Pedesaan, Kartu Sembako dan Bantuan Langsung Tunai (Sumber: Infografis katadata.co.id)
Stereotip nitizen dalam viralnya masyarakat miskin, mencoba mengarahkan pandangan masyarakat jika pemerintah telah abai dalam persoalan kemiskinan. Dalam sejumlah postingan di jejaring sosial selalu berawal dari menceritakan kesusahan warga miskin dengan bahasa peduli dan berakhir dengan mempertanyakan keberadaan pemerintah. Stereotip kemiskinan ini mencoba membangun sebuah wacana atau mengklasifikasi beberapa pihak yang terlibat dalam kemiskinan. Pihak pertama adalah mereka atau nitizen yang menyalurkan bantuan tanpa embel-embel kritik, menggalang dana, terjun langsung melihat kondisi, dan memenuhi kebutuhan yang dibutuhkan warga tersebut.
Pihak kedua, adalah nitizen yang hadir sebagai sosok “pahlawan” bagi orang miskin. Kemiskinan ini menjadi senjata untuk melakukan kritik yang kadang tidak berujung pada solusi. Solusi dalam pandangan nitizen ini adalah sebuah penghukuman kinerja buruk pemerintah kepada masyarakat. Sementara pihak ketiga menjadi bahan bully dan kritik atau pihak yang bertanggungjawab adalah pemerintah.
Internet dalam bentuk jejaring sosial menjadikan komunikasi orang-orang di dunia maya berbeda dengan pola perilaku di dunia nyata. Perilaku individu di ranah dunia maya juga kerap kali lebih kasar, keras, dan nyinyir. Selain itu dalam melihat persoalan akan cenderung membangun opini yang kontroversi dan menghakimi yang dijustifikasi sebagai kritik. Hasil dari kritikan ini tidaklah berupa solusi tapi cenderung menyalahkan dan menghakimi pihak tertentu. Fenomena ini sering disebut dengan “online disinhibition”.
Kalaupun hal ini menjadi tanggung jawab pemerintah yang harus menjadi “korban” kritik dan sindiran nitizen, maka tidak semerta-merta hal ini harus mengarah pada individu tertentu, kepada kepala daerah misalnya. Laku nitizen seperti ini cenderung menyerang citra seorang individu kepala daerah, yang dalam kenyataannya pemerintahan bukanlah berada pada satu individu tapi sebuah sistem yang memiliki visi dan misi bersama.
Dalam hierarki pemerintahan siapa pun tahu pemerintah desa merupakan pihak yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Dengan hak otonom dalam pemanfaatan anggaran dana desa maka arah terhadap pengentasan kemiskinan di wilayahnya mesti menjadi perhatian atau sebuah prioritas. Belum lagi berbagai program pemerintah melalui sejumlah SKPD seperti Dinas Sosial yang tidak hanya menyalurkan bantuan berupa pemenuhan kebutuhan pangan semata tapi juga kebutuhan seperti tempat tinggal yang layak dan bantuan kesehatan oleh Dinas Kesehatan.
Lalu siapakah pemerintah dalam hal ini, yang mendapat penghukuman dari nitizen terhadap kondisi masyarakat miskin yang tetiba saja viral di saat pandemi seperti sekarang?
Meskipun kita tak bisa menutup mata terhadap peran eksekutif (pemerintah daerah) dan legislatif dalam hal ini anggota DPRD Daerah melakukan evaluasi terhadap kinerja di pemerintahan, namun kemiskinan merupakan tanggung jawab bersama. Evaluasi ini harus sebuah koreksi tentang validasi data dan efektivitas penyaluran bantuan kepada masyarakat miskin di Kabupaten Luwu. Siapa pun yang hidup di satu wilayah tetap harus melawan kemiskinan sebagai bentuk kewajiban dan rasa kemanusiaan bukan untuk citra kelompok terlebih lagi menjadi “senjata” menyerang kelompok tertentu.
Sementara di dunia maya kepedulian tidaklah harus diperlihatkan dengan sebuah kritik yang hanya bersifat prasangka dan langsung menghakimi pihak tertentu. Kritikan tanpa sebuah tindakan nyata atau solusi yang konkret akan menjadi absurd pada akhirnya. Sementara kemiskinan butuh sebuah tindakan nyata bukan sebuah kritik jejaring sosial yang berdasarkan pada prasangka dan penghakiman.
Tentang perilaku di jejaring sosial kita mengenal sebuah istilah “Public Shaming” sebuah tindakan kontrol sosial yang dilakukan seseorang atau lebih kepada orang lain yang dianggap melanggar norma sosial di masyarakat atau dalam sebuah komunitas. Budaya shaming ini mencoba meluruskan berbagai kesalahan sosial tanpa melalui jalur hukum. Namun seiring berpindahnya komunikasi ke dunia maya maka budaya shaming yang awalnya positif di dunia nyata menjadi sebuah alat kritik yang justru menjatuhkan, menghakimi, merendahkan, dan kadang melecehkan pihak tertentu.
Seiring perubahan komunikasi nitizen di dunia maya/ jejaring sosial, public shaming ini pada akhirnya tidak menjadi sesuatu kontrol sosial yang bersifat positif tapi justru berbeda. Dalam beberapa kasus menjadi body shaming. Sebuah persoalan sosial diarahkan oleh nitizen untuk menyerang citra individu tertentu. Bahkan terkadang muatan body shaming ini cenderung politis, karena terkait pada sebuah kebijakan pemerintahan. Terlebih lagi jika kritik jejaring sosial ini tanpa berdasarkan data dan konfirmasi kepada pihak yang dianggap bertanggungjawab.