Dari Pemilu ke Pemilu

  • Whatsapp

Masih terhitung pagi jelang siang, matahari sudah mulai sedikit menyengat pori-pori tanganku sedang memegang stang sepeda yang kugowes. Tiba-tiba handphoneku bergetar dan langsung tersambung ke headset yang nempel di telingaku. Halo.. suara sedikit lembut menyapaku dari kejauhan. “Kakak ditunggu ya” “Baik saya akan datang tapi agak siang” balasku cepat dan singkat.

Adik-adik kelas waktu sekolah menengah atas dahulu kala, sedang mengadakan reunian kecil-kecilan. Jumlahnya terbatas. Lokasi reuni di rumah empangnya di sebuah kabupaten berbatasan kota Makassar. Saya tiba di kerumunan mereka persis waktu makan siang. Bahkan sebagian dari mereka sudah pada suapan terakhirnya. Kampung tempat reuni ini, masih kawasan kampung ibuku juga. Kampung yang berbatasan dengan kabupaten kepulauan memang sepanjang mata memandang dipenuhi hamparan tambak atawa empang. Dari orang-orang yang berkumpul sekira lima puluhan orang, terselip pula dua di antaranya calon anggota legislatif (Caleg). Keduanya dari kota Makassar.

Dalam perbincangan yang riuh dipenuhi canda tataw, aku iseng menanyai kedua Caleg yang masih terbilang adik angkatan saya itu, “Berapa anggaran yang engkau siapkan dalam bertarung pemilu ini” keduanya hampir bersamaan menjawab dengan mimik wajah santai, “Berkisar tiga ratus hingga enam ratus juta, Kak.” Saya tidak melakukan serangan fajar karena anggaran saya terbatas, hanya menyediakan berupa suvenir yang kami bagikan ke konstituen seperti sarung, mukena, sajadah, dan lain-lain. Di samping tentu memberi uang bensin dan makan bagi peluncur-peluncur di lapangan yang membantunya. Kalau lawan-lawan kami yang berkantong tebal mereka memang menyiapkan anggaran di atas satu milyar jelasnya.

Tuan rumah menjelaskan, bila di kampung ini dan sekitarnya, hampir setiap hari kedatangan tamu “asing”. Tamu yang keluarga besarnya beranak pinak di kampung ini, tapi nanti akhir-akhir ini, mereka rajin mengunjungi sanak-saudaranya untuk kepentingan suara yang mesti diraupnya. Lihat saja mobil-mobil baru yang lalu lalang itu, mereka bukan penduduk kampung sini. Mereka adalah para Caleg. Mereka sedang bekerja keras mendekati dan membujuk para konstituen dengan berbagai strategi dan iming-iming.

Saya meninggalkan kampung tambak ini setelah penduduknya usai melaksanakan salat zuhur di masjid. Bila melihat masjid di kampung ini, penduduknya kategori sejahtera. Sebab, masjid-masjid di sepanjang jalan yang kulintasi secara fisik lumayan bagus untuk tidak mengatakannya mewah. Di perjalanan sebelum memasuki ibu kota kabupaten, kuputuskan untuk menyambangi adik kandungku. Mukimnya terletak di salah satu desa yang besisian dengan bukit-bukit karst nan indah. Kendaraan kubelokkan mengarah ke timur. Menyusuri jalan-jalan beton yang tak seberapa lebar tapi cukup dilewati kendaraan roda empat. Realitas ini, juga penanda bila pembangunan di kabupaten ini secara fisik sudah merata, sebab kampung tempat kelahiran ayahku ini, terbilang kampung paling tepi dan paling ujung.

Kala kendaraan yang kutumpangi kutepikan di pagar rumah adikku. Aku belum sampai dan duduk di beranda rumah panggung adikku, sekonyong-konyong para tetangga rumahnya tak terlalu padat itu berdatangan. Melihat kedatangan mereka, adikku tersenyum lebar seraya berseloroh dan bercanda, “Bukan Caleg ini yang datang, tapi kakakku dari Makassar” tentu dalam bahasa lokal (Bugis). Dengan mimik kecele, kerabat saya itu, tetap datang dan menyodorkan tangannya untuk bersalaman sebagai tradisi entah kapan dimulainya. 

Melihat fenomena ini, cara-cara culas untuk meraih kekuasaan politik masihlah mengemuka. Money politik, “serangan fajar”, dan iming-iming material yang menyerbu para konstituen masih sangat masif dari kota hingga ke pelosok Desa. Para Caleg masih menyiapkan segepok anggaran untuk meraup suara. Inilah salah satu penyebab sehingga korupsi di negeri ini masih susah hengkang dari berbagai sumber-sumber anggaran. Para politikus dan partainya masih bermain di ruang-ruang gelap untuk meraih kekuasaan.

Secara umum, sesungguhnya politik menghendaki sebuah proses bergulirnya pembagian kekuasaan di dalam masyarakat. Dalam bentuk praktisnya, pembuatan keputusan khusus  dalam sebuah negara. Yakni keputusan yang diambil dari rakyat (perwakilan) dan untuk rakyat (yang diwakili). Sebagaimana sinyalemen Aristoteles, bahwa muara sebuah proses politik adalah usaha yang mengajak warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama.

Muara dari keseluruhan proses demokrasi dalam politik adalah bagaimana kebaikan bersama dapat terwujud dalam berbangsa dan bernegara. Secara substansial  di mana rakyat memberikan amanat dan tanggung jawab kepada pihak-pihak yang mendapatkan dukungan oleh rakyat kebanyakan. Jadi tanggung jawab moral, spiritual, dan konstitusi melekat di dalamnya. Tapi, lihatlah realitas yang ada, di mana modal dan politik uang masih menguasai dan merajai proses demokrasi dan politik kita, dari level paling bawah hingga di pucuk. Nampaknya sudah jamak di negeri ini, bahwa secara etis partai politik juga tidak berperan dengan baik, mulai dari proses pengaderan dan rekrutmen anggotanya. Yang dipikirkan adalah bagaimana meraih suara sebanyak-banyaknya dan partainya menjadi pemenang di setiap pemilu.

Jadi penjelasan singkat dan sederhana di atas, sesungguhnya secara substansial arah gerak demokrasi dan politik di negeri ini sudah menyimpang. Belum lagi bila kita memotret fenomena pertikaian dua pendukung pasangan calon presiden pada pemilu yang baru saja dihelat. Ia menyisakan rangkaian dendam kesumat. Bagaimana tidak, di masa kampanye semua cara digunakan untuk menjatuhkan lawan politik. Dari hoaks, fitnah, dan berbagai cara-cara machiavellian digunakan untuk menghancurkan lawan. Dan bila kita cermat mengamati, bahwa sesungguhnya fenomena ini telah berlangsung sejak pemilu 2014 dihelat. Hoaks dan fitnah merebak bak bola api menggelinding di jerami kering. Seolah tiada akhir hingga pemilu kembali diselenggarakan di tahun 2019. Dan tahun 2020 sepertinya hal sama akan berulang.

Bila membaca sejarah pendahulu kita, bagaimana mereka mempraktikkan politik beradab dan saling menghargai pastilah terkesan elok. Contoh paling kecil bila kita menengok sepak terjang, Sukarno, Hatta, Syahrir, Natsir, dan Kasimo. Mereka paling tidak memberi contoh selain persahabatan mereka di luar panggung dan kasak-kusuk politik, mereka juga mempertontonkan sebuah gerakan politik narasi dan literasi yang baik. Mereka tidak hanya berpolemik di mimbar-mimbar kampanye dan sejenisnya, tapi juga secara intelektual berpolemik lewat tulisan di berbagai media maupun buku yang mereka tulis sendiri. Mereka menampilkan politik gagasan yang mestinya menjadi budaya yang mesti diteruskan oleh para politisi negeri ini. Bukan hanya pandai merangkai hoaks dan fitnah yang secara psikologis bisa berdampak sangat buruk pada generasi penerus bangsa ini. 

Beberapa menit sebelum aku meninggalkan mukim adikku, seorang berusia paru baya menanyaiku dengan suara sedikit bergetar “Apakah betul kalau si fulan yang menang dalam pemilu ini, suara azan akan ditiadakan di masjid-masjid”. Aku terenyak dan sambil senyum, lalu kuberi penjelasan secara proporsional bahwa dua pasang calon presiden yang sedang berkompetisi dalam pemilu kali ini, adalah muslim semuanya, mereka salat, puasa, naik haji, membayar zakat, dan melaksanakan berbagai ritual Islam lainnya.

Imam Al-Mawardi dalam kitab Adab al-Dunia wa al-Din mengutip perkataan Imam Ali bin Abi Thalib, bahwa kehidupan di dunia ini memang unik. Diumpamakan pertandingan, dalam pertandingan ada harapan untuk menang, serta ada trik dan perjuangan yang akan dipraktikkan. Dalam pertandingan-pertandingan ini, semua orang harus mengikuti aturan serta menjauhi larangan, karena jika hal itu dibutuhkan maka ia akan melakukan kecurangan yang akan dilanggar, bahkan mencelakakan lawan-lawannya. Maka ini sangat berbahaya. Dan lebih lanjut Imam Al-Mawardi menjelaskan, bahwa ada dua hal yang selalu dihindari Imam Ali. Yang pertama mengikuti hawa nafsu karena akan menutup diri dari kebenaran, dia tidak akan menerima jenis apa pun kebenaran itu. karena pada hakikatnya nafsu selalu berhubungan dengan hala-hal negatif, maka segala macam kebenaran tak akan diterimanya, sehingga berujung pada pembenaran yang sesuai dengan hawa nafsunya. Kedua, terlalu panjang dalam berangan-angan yang tak berguna. Kekhawatiran ini akan melalaikan kehidupan akhirat. Kemenangan abadi adalah kemenangan yang diliputi kebajikan dan penuh cinta.

Oleh : Abdul Rasyid Idris

(Pegiat dan konsultan Corporate Social Responcibility (CSR) dan Penulis Buku




Pos terkait