Kehidupan pasca modern adalah zaman simulakrum, begitu pendakuan Jean Baudrillard, sosiolog abad kini. Analisis Baudrillard ini ditandai oleh dua alasan. Pertama, di masa akan datang—yang artinya saat ini—kehidupan masyarakat akan banyak dimediasi perangkat berteknologi canggih, di mana salah satunya adalah alat komunikasi. Kedua, peralihan dari kehidupan modern ke pascamodern, akan berdampak kepada cara orang berkomunikasi melalui simbol, tanda, bahasa, dan kode yang mereduksi makna komunikasi itu sendiri.
Saat ini, Covid-19 belum mampu dienyahkan, dan membuat banyak perubahan—atau memperdalam cara masyarakat melihat diri dan masyarakatnya. Tidak cukup pergantian kalender, Covid-19 mengubah persepsi tubuh manusia menjadi lebih kritis. Tubuh kali ini tidak lagi dibiarkan bergerak bebas. Sekarang ia mesti disiplin dan tunduk pada protokol kesehatan. Salah sedikit, suatu komunitas masyarakat bakal terancam.
Di bidang ekonomi, kebutuhan rumah tangga dan industri sedang ditinjau ulang. Covid-19 bagai invisible hand ala Adam Smith, yang mengatur atau mereset kebutuhan-kebutuhan primer, sekunder, dan tersier yang selama ini salah diartikan saat kehidupan normal. Kelangkaan dan distribusi barang, yang semula dihitung berdasarkan tingkat konsumsi suatu kawasan, kini mesti mempertimbangkan unsur ketahanan pangan yang bakal mempengaruhi pola konsumsi masyarakat.
Masyarakat benar-benar mesti mempertimbangkan matang-matang menyangkut kebutuhan karsanya, mengingat meski di keadaan kenormalan baru, tren penderita Covid-19 makin naik. Kegiatan-kegiatan semisal menonton film, kopi darat, membaca buku, berdiskusi, ngopi di café-café, dan berbelanja di pusat perbelanjaan harus diperhitungkan baik-baik. Jika kebutuhan ini masih bisa dialihkan kepada kegiatan-kegiatan berskala rumah tangga, maka kegiatan macam di atas lebih baik ditunda dulu.
Praktis kegiatan berbudaya seperti di atas, kini kembali ke makna asalnya ”bercocok tanam mengolah tanah”. Cultura yang menjadi asal kata culture, saat ini dipelipirkan di sebidang tanah di taman atau kebun belakang rumah. Kegiatan bercocok tanam, entah itu berkebun atau merawat tanaman hias, jadi gaya hidup baru menggantikan kegiatan pelesiran di atas.
Selain bidang-bidang kehidupan di atas banyak berubah, pandemi saat ini mendorong timbulnya kebiasaan baru di bidang pendidikan dan pemerintahan, yang mesti lebih akrab dengan teknologi komunikasi informasi. Saat ini muncul kesadaran baru benda-benda teknologi gadget dan smartphone, dapat juga dimanfaatkan lebih maksimal ke dalam dunia pendidikan dan pemerintahan.
Perubahan semua gejala di atas, mempertajam kesadaran masyarakat agar lebih intens menggunakan screen gawai sebagai wakil kenyataan. Interaksi berskala besar yang membutuhkan banyak waktu dan tempat, kini lebih mudah dimediasi layar smartphone, meski di saat bersamaan ada reduksi kenyataan yang terjadi.
Seperti misal, dalam proses belajar mengajar belakangan ini, yang menimbulkan banyak keluhan para orangtua siswa dikarenakan proses belajar dari rumah tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Banyak orangtua siswa mengeluh, peralihan mengajar yang berpusat dari guru ke dan melalui screen gawai, menimbulkan masalah teknis berupa miskomunikasi, turunnya konsentrasi belajar, gaptek teknologi, dan bahkan ada yang mesti meminjam gawai tetangga agar dapat melaksanakan proses belajar mengajar.
Proses belajar mengajar yang diperantai gawai canggih, setidaknya memerlukan dua persyaratan teknis bagi orangtua murid, yakni kecakapan menggunakan smartphone, dan kecakapan dalam mengajari anak sesuai instruksi guru. Yang pertama, tidak sedikit orangtua murid yang masih gaptek memanfaatkan beragam aplikasi belajar mengajar yang sarat isian dan pilihan menu yang tidak friendly dari segi interfacenya. Toh, jika masalah ini dapat teratasi, banyak pula orangtua murid yang mengaku butuh adapatasi untuk lancar menggunakan aplikasi belajar berbasis internet ini.
Masalah kedua adalah kecakapan orangtua murid yang minim atau tidak ada sama sekali dari segi pengalaman mendidik anak akibat ketergantungan mutlak kepada institusi sekolah. Di lini masa media sosial, banyak keluhan orangtua berupa kemarahan, kekecewaan, dan bahkan sampai ke tingkat stress sekaligus depresi, akibat ripuh menghadapi anak di rumah. Keluhan para orangtua ini cukup beralasan dikarenakan perubahan mendadak dari pola asuh selama ini dititikberatkan kepada pihak sekolah, kini mesti dibebankan kepada orangtua di rumah.
Masalah dihadapi orangtua ini, selain karena dalam hal pengasuhan anak sangat bergantung kepada institusi sekolah, mengalami bias saat mendefenisikan sekolah dan pendidikan. Sekolah dan pendidikan bukan hal identik meski saling beririsan. Bagi orangtua, hanya sekolah satu-satunya lembaga yang mampu memberikan pengasuhan dan pengajaran bagi anak-anak mereka. Terdidik tidak terdidiknya anak mereka, sekolah-lah satu-satunya indikator mutlaknya.
Padahal dalam sejarahnya, malah sebaliknya terjadi. Sekolah awalnya muncul dari pola pengasuhan keluarga yang memanfaatkan waktu luang demi mengembangkan pemahaman dan wawasan. Kegiatan memanfaatkan waktu luang demi ilmu ini oleh orang Yunani sebut sebagai skhole, scola, scolae, atau schola, yakni dengan cara mendatangi orang pandai yang dapat menjawab permasalahan-permasalahan hidup mereka. Dari sinilah kebiasaan itu dilakukan juga kepada anak-anak, agar kelak mampu mengganti sang ayah atau ibu dengan cara menyerahkannya pada seorang cendekia agar dilatih, bermain, dan belajar sesuatu dari apa yang mereka anggap penting.
Maka sejak saat itu telah beralih sebagian fungsi pengasuhan berbasis ibu dan keluarga (scola matterna), yang merupakan lembaga pertama dan tertua sosialisasi nilai-nilai, menjadi pola pengasuhan anak di waktu senggang di luar rumah, sebagai pengganti ayah dan ibu (scola in loco parentis). Kelak institusi atau lembaga pengganti keluarga ini, karena berfungsi sama seperti pola pengasuhan ibu akan dinyatakan sebagai alma matter, yang berarti ”ibu yang memberikan ilmu.”
Ulasan singkat ini menegaskan sekolah sebenarnya berakar dari pola pengasuhan berbasis keluarga, atau perpanjangan tangan ayah dan ibu untuk memberikan pemahaman kepada anak-anak mengenai apa saja berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan penting dalam hidupnya. Itu artinya, selama keluarga pati masih bisa melakukan fungsi-fungsi pengasuhan, mendidik, dan bermain, dan semua itu dilakukan di saat waktu luang secara bebas dan kreatif, maka itulah sekolah sebenarnya.
Pandemi korona meski banyak mendatangkan kerugian, di satu sisi mengembalikan kegiatan-kegiatan ”kepublikan” menjadi kegiatan berbasis ”rumah tangga” yang memang dalam sejarahnya memerlukan ”keluarga” sebagai fondasi utamanya. Bukan saja sekolah (scola), tengoklah pengertian awal dari ekonomi (oikonomikos) yang berarti tata kelola kebutuhan rumah-tangga yang bergantung pada pengelolahan ladang, dan juga kegiatan budaya (cultura) seperti sudah disinggung sebelumnya.
Dari awal, Jean Baudrilard pernah merumuskan gejala-gejala masyarakat pascamodern ke dalam situasi simulakrum yang mengandalkan simbol, tanda, bahasa, dan kode sebagai pengganti kenyataan, di era pandemi ini, selain mengalami situasi itu, masyarakat kembali ke era ketika keluarga menjadi fondasi dari segalanya.
Dengan kata lain, kegiatan ekonomi, berbudaya, dan berpendidikan di era sekarang ini sangat bergantung kepada ketahanan keluarga sebagai modal sosial paling tua dan kuat ketika menghadapi cobaan dan ancaman.
Sebelumnya, keluarga sangat bergantung pada tatanana yang lebih besar dari dirinya berupa komunitas, masyarakat, atau negara, agar ia bisa eksis dan bertahan. Sekarang, karena korona semua berbalik. Struktur tatanan semacam negara-bangsa sekalipun sangat bergantung kepada rumah tangga agar dapat selamat dari krisis multidimensi seperti waktu kini.