Teras rumah menjadi spot menarik untuk merilekskan jiwa berkawan udara pagi. Begitu menariknya spot ini, tak jarang pula kugunakan sebagai tempat meluapkan jiwa dilematis yang terpendam. Begitulah kaum muda berekspresi.
Hanyut dalam lamunan dan terbuai kenikmatan awan tipis dengan langit terbentang luas di atasnya. Aku teguk segelas kopi hangat yang tersuguhkah di atas meja, bagai berada di pedesaan. Inilah terkadang buatku rindu kampung halaman, demikian ungkapan anak rantau pada umumnya.
Dalam lamunan tampak sekilas seekor musang, cukup menarik dapat memandangnya di tengah kota yang umumnya hanya dijumpai di hutan maupun kebun binatang. Namun saat hewan seperti ini beraktivitas di area permukiman padat penduduk tentunya tampak tidak lazim. Semacam mamalia tersesat jauh dari habitatnya.
Saya teringat dengan saluran TV dunia yang membincang seputar kehidupan hewan di hutan. Muatannya sederhana, naluri hewan mencari makan dan hutan adalah habitat ideal. Jika ada hewan tersesat ke permukiman padat penduduk maka terdapat persoalan pada habitatnya. Begitu pun yang dikemukakan Arif Novianto di pengantar buku Slavoj Zizek tentang Pandemic.
Ulasannya mengemukakan cikal bakal perpindahan inang mikro-parasit (patogen) dari hewan ke manusia. Bermula dari adanya kerusakan ekosistem di picu oleh eksploitasi hutan (alam) secara masif atas kepentingan kapitalis lingkungan untuk meraup akumulasi.
Sejatinya, patogen hidup berparasit pada hewan hutan sebagai inangnya. Jika habitat hewan rusak, dapat mendesak para spesies hutan mencari makan jauh dari habitat aslinya, hingga sampailah patogen berparasit pada hewan yang masuk ke permukiman penduduk, kemudian patogen berpindah inang dan berparasit pada manusia.
Berdasarkan data WHO tepat tanggal 28 Juni 2020 tren pasien positif terjangkit Covid-19 meningkat hingga 10 Juta lebih jiwa di seluruh Dunia. Penyebaran yang signifikan tanpa melihat strata sosial seseorang, siapa pun berpotensi besar terjangkit, mendesak seluruh negara yang terpapar melakukan kebijakan strategis untuk menghentikan penyebarannya.
Pasca melihat data terkini dari WHO, saya beranggapan perlu adanya langkah strategis, yakni Pertama, peningkatan eskalasi penderita Covid-19 setiap harinya memberikan kekhawatiran secara luas dan mendesak keterlibatan negara menerapkan sistem protokoler kesehatan darurat. Indonesia misalkan, upaya menghimbau masyarakat menggunakan masker, sanitizer, pembatasan jarak interaktif langsung antar penduduk dengan harapan menekan penyebaran pandemi.
Bahkan terjauh, negara menerapkan penguncian (lockdown) teritorial secara nasional, persis yang dilakukan negara Eropa tahun 1940-an saat terserang epidemi Sampar, yang diceritakan oleh Albert Camus dalam novelnya Sampar. Tujuannya sama, menekan penyebaran wabah antar wilayah maupun negara.
Pelarangan izin keluar suatu wilayah via udara, laut, dan darat merupakan instrumennya. Anggaplah, kebijakan ini akan efektif bila dilakukan lebih dini dengan tingkat lebih besar dan merata setiap wilayah, tetapi akan berbeda bila penerapannya malah sebaliknya. Faktualnya, penerapan yang lamban, hal ini justru membuat kepanikan dengan jumlah pasien positif Covid-19 terus meningkat secara signifikan.
Kedua, Covid-19 memberikan pengaruh luar biasa terhadap superstruktur suatu negara khususnya sektor kesehatan dan ekonomi. Anggaplah Indonesia, tergerusnya sektor kesehatan dan ekonomi memvisualisasikan corak dilematik negara, terlihat dari kebijakan yang diambil. Akankah mendahulukan aspek kemanusiaan atau menekan anjloknya pertumbuhan ekonomi.
Ketidakpastian berakhirnya virus semakin melebarkan kepanikan suatu negara. Negara diperhadapkan atas pilihan, akankah bertahan pada situasi lockdown beberapa bulan ke depan ataukah menyelamatkan mekanisme pasar dengan bertindak seperti Pracovid-19, dengan menerapkan protokoler kesehatan (penggunaan Masker, Sanitizer, dll).
Ketertarikanku tertuju pada tindakan memenuhi kepentingan mekanisme pasar agar tetap berjalan. Kini dikenal dengan slogan Herd Immunity dan New Normal, slogan ini adalah reaktif pada rutinitas umumnya di tengah badai Covid-19 yang menekankan pertempuran sistem imun terhadap virus, dengan konsekuensi imun yang kebal (kuat) terhadap virus akan tetap melanjutkan hidup tanpa rasa khawatir, tetapi bagaimana dengan sistem imun yang lemah? Hal ini mengingatkanku dengan hukum seleksi alam Charles Darwin “yang kuat maka dia yang akan bertahan.”
Inilah wujud barbarisme yang dikatakan oleh Slavoj Zizek. Bahwa bencana ini menciptakan krisis medis, ekonomi, dan psikologis yang mendesak negara melakukan Survival of the fittest artinya mendahulukan hidup usia produktif yang kuat bertahan terhadap virus dan usia lansia dengan kondisi serius di biarkan mati.
Berangkat dari hal ini, Zizek melihat gejala kepanikan sistem kapitalis dan beranggapan inilah masa transisi akan kebangkitan sistem lama lainnya, tak heran bila Zizek menawarkan sistem sosialis adalah alternatif untuk keluar dari polemik bencana Pandemi. Terlihat dari kejadian ini, mendadak solidaritas pemikiran manusia bersatu agar tidak menjadi agen untuk manusia lainnya dan ini merupakan bentuk sederhana paham sosialis.
Jika Zizek beranggapan penerapan sistem sosialis adalah jalan keluarnya, namun saya memprediksi sedikit berbeda. Saat ini sistem kapitalisme global belum benar-benar bersedia berganti haluan ke arah sistem sosialis seperti ungkapan Zizek, namun bukan hal mustahil terjadi. Prediksi itu jatuh ke arah sistem kapitalisme makroekonomi lama melakukan pembaharuan, yakni sistem ekonomi Keynesian.
Sistem menitikberatkan peran negara. Jika sistem ini diterapkan dengan skala tinggi, lalu mengorganisir produksi hal-hal urgensi alat medis, mengalih fungsikan hotel, menjamin kelangsungan hidup pengangguran baru, dan menerapkan hal ini dengan meninggalkan mekanisme pasar, maka terdapat harapan keluar dari terkaman pandemi.
Bahkan lebih jauh, institusional kesehatan patut bergantung pada komunitas lokal merawat yang lansia dan lemah. Negara juga perlu melakukan kerja sama internasional yang efektif harus terorganisir untuk menghasilkan dan berbagi sumber daya.
Ketiga, negara sepatutnya memanfaatkan teknologi (Big Data) sebagai sarana untuk menekan penyebaran virus dengan mengidentifikasi laju penyebarannya. Persis yang dilakukan China pada teknologinya.