Mempercakapkan topik ini, mungkin amat elok kalau merujuk pada salah satu buku, berjudul Ketahanan Budaya. Buku yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan; Insignia, 2014, salah seorang penulisnya, Ade Makmur K, merujuk pada pandangan Kartawinata, tatkala berbicara tentang konsep dasar, berkaitan dengan ketahanan budaya.
Sebaiknya, saya kutipkan saja, “Ketahanan budaya, dapat diartikan sebagai suatu proses perwujudan kesadaran kolektif yang tersusun dalam masyarakat untuk meneguhkan, menyerap, dan mengubahsuaikan berbagai pengaruh dari budaya lain melalui proses belajar kebudayaan, yaitu enkulturasi, sosialisasi, dan internalisasi yang disandarkan pada pengalaman sejarah yang sama Itu artinya, ketahanan budaya dalam penulisan buku ini, tidak dimaksudkan sebagai sesuatu yang statis sifatnya, melainkan sebagai sesuatu yang dinamis. Dalam pengertian itu, asas dari ketahanan budaya dapat mengarahkan, dan mengembangkan lambang-lambang yang semula telah ada untuk disalurkan kembali pada pembentukan nilai-nilai dan bentuk-bentuk perilaku yang wujud dalam kebudayaan. Hal itu berarti, ketahanan budaya dimaksudkan sebagai upaya penyesuaian diri terhadap situasi-situasi luaran tanpa banyak merusak kebudayaan yang telah menjadi tatanan kehidupannya.”
Lebih tegas Ade Makmur menulis, “Dengan demikian, ketahanan budaya dalam pengertian ini, tidak dimaksudkan sebagai warisan budaya melainkan lebih mempunyai arti sebagai strategi kebudayaan dalam berhadapan dengan perubahan. Dalam konteks itu, setiap pelaku kebudayaan tidak saja bertindak sebagai seorang atau sekelompok orang yang menyesuaikan dirinya dengan nilai-nilai yang ada dan normatif sifatnya, tetapi juga bertindak sebagai agen yang bersifat kreatif. Dalam kedudukannya sebagai agen, maka kebudayaannya akan disesuaikan dengan pilihan-pilihan budaya yang sedang berkembang, dan sekaligus dapat memberi bentuk dan identitas kepada pendukung kebudayaan secara berterusan, tanpa banyak menghilangkan ciri-ciri khas dari kebudayaan mereka sendiri, seperti pengungkapan bahasa, penghayatan atas agama dan kesenian, asas-asas keluarga dan kekeluargaan atau sistem kemasyarakatannya. Semua itu, bisa jadi dapat disebut sebagai asas-asas ketahanan budaya. Asas ketahanan budaya yang meliputi bahasa, agama, kesenian, keluarga dan kekeluargaan atau disebut juga sistem kemasyarakatan.”
Lalu apa yang menjadi perkara utama dalam ketahanan budaya? Defenitnya, yang mengancam kebudayaan, khususnya di negara kita, terlebih lagi di negeri kita? Paling tidak ada dua. Pertama, gempuran globalisasi yang menghilangkan batas-batas teritori negara. Kedua, leluasanya gerakan-gerakan ideologi transnasional, baik yang bersifat politik maupun keagamaan.
Bila yang pertama awalnya lebih cenderung berbasis ekonomi, lalu merinsek bidang kehidupan secara umum. Berdalih pada pembangunan ekonomi, sekotah sektor kehidupan didikte oleh pembangunan ekonomi: Pembangunanisme. Akibatnya, segala hal yang dianggap menghambat laju pembangunan harus dilibas. Globalisasi lebih konkret beroperasi pada ruang publik. Sementara yang kedua, mempersoalkan budaya dalam ranah pemikiran dan keyakinan. Serbuan pemikiran ideologi sekuler maupun pandangan keagamaan, cenderung melihat budaya sebagai penghambat ideologi progresif dan kemurnian agama.
Strategi literasi budaya
Sekira sepuluh tahun terakhir ini, diskursus tentang literasi sebagai salah satu masalah bangsa, muncul ke permukaan. Salah satu pemicunya, karena Indonesia masih dianggap rendah tingkat literasinya, untuk tidak mengatakan amat tertinggal jauh dibandingkan dengan negara lain. Sebagai rujukan, saya selaraskan saja ke https://WWW.kominfo.go.id yang menulis, fakta pertama, UNESCO menyebutkan Indonesia urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat baca sangat rendah. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca!
Riset berbeda bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity, pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi penilaian infrastruktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa.
Fakta kedua, 60 juta penduduk Indonesia memiliki gadget, atau urutan kelima dunia terbanyak kepemilikan gadget. Lembaga riset digital marketing Emarketer memperkirakan pada 2018 jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih dari 100 juta orang. Dengan jumlah sebesar itu, Indonesia akan menjadi negara dengan pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika.
Berdasarkan pada fakta tersebut, akhirnya pemerintah mencanangkan untuk menuntaskan paling tidak enam literasi dasar yang harus diselesaikan. Hal ini disepakati oleh World Economic Forum tahun 2017. Dan, persepakatan ini bersifat menyeluruh, melingkupi seluruh lapisan masyarakat, bukan saja peserta didik. Enam literasi dasar tersebut mencakup literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, dan literasi budaya-kewargaan.
Dari enam literasi dasar ini, termasuk literasi budaya. Artinya, perkara budaya untuk kejayaan bangsa ini, tidak bisa disepelekan, melainkan kewajiban dasar bila ingin menjadi bangsa yang maju. Literasi budaya dimaksudkan sebagai kemampuan dalam memahami dan bersikap terhadap kebudayaan Indonesia sebagai identitas bangsa. Karenanya, literasi budaya merupakan kemampuan individu dan masyarakat dalam bersikap terhadap lingkungan sosialnya, sebagai bagian dari suatu budaya bangsa. Sebab, urgensi terdepannya, terletak pada keragaman bangsa, mulai dari suku, bahasa, tradisi, hingga kepercayaan.
Budaya literasi sebagai tindakan praktis
Dus, apa yang harus dibikin agar literasi budaya ini mengada? Di sinilah letak taktisnya mengajukan gerakan literasi. Maksudnya, bilamana ingin mewujudkan literasi budaya, maka harus pula digerakkan budaya literasi. Sebab gerakan literasi yang menggerakkan kemampuan enam literasi dasar, termasuk literasi budaya, akan tiba pada satu kompetensi yang bakal dimiliki oleh seseorang, kelompok, komunitas, masyarakat, dan warga.
Kompetensi itu berupa kapasistas: Critical Thinking/Problem Solving (berpikir kritis/memecahkan masalah), Creativity (kreativitas), Communication (berkomunikasi), dan Colaboration (berkoaborasi. Berikutnya, dengan kompetensi ini, akan lahir berbagai macam kualitas karakter. Salah satunya, Cultural Awarness, kesadaran kebudayaan.
Adanya kesadaran kebudayaan, memungkinkan setiap warga bangsa terlibat dalam proses ketahanan budaya, mempertahankan kebudayaan dengan modal dasar kompetensi. Jika setiap warga sudah terlibat dalam ketahanan budaya, hadir pula peluang untuk mewujudkan kedaulatan budaya. Yakni suatu model kedaulatan, hal mana setiap pengambilan kebijakan, maka kebijaksanaan budaya ikut menentukan.
Singkatnya, menggerakkan literasi dalam bentuk gerakan literasi, dari gerakan literasi mengukuhkan budaya literasi, lalu budaya literasi bekerja untuk mengukuhkan literasi budaya. Arkian, literasi budaya mendorong ketahanan budaya. Dan, pucuknya berbunga pada kedaulatan budaya. Wallahu alam bissawab.