Di abad 20, ada salah satu pemikir yang mungkin tak bisa disepelekan. Ia dilahirkan pada 17 Januari 1937 di Perancis. Selain filosof, ia juga dikenal sebagai matematikawan serta teolog. Ia adalah Alain Badiou. Ia telah menulis banyak gagasan. Apa yang dipikirkan dan ia tuliskan, tak mau digolongkan sebagai gagasan postmodern. Hal ini tak serta merta ia kemudian digolongkan sebagai pemikir modernisme. Semua kategori itu ia tolak. Tapi yang jelas, Badiou secara politik sangat kiri. Ia dipengaruhi oleh gagasan komunis.
Di Wina 2004, sebuah dialog terjadi. Dua filosof dipertemukan dalam satu panggung. Yang satunya adalah Badiou sedang yang lain adalah Slavoj Zizek. Saat itu, khalayak mengira akan terjadi debat yang seru. Saling kontra diajukan dalam argumentasi yang ketat. Umumnya memang demikian bila dua filosof bertemu. Kita tahu bahwa pemikiran filsafat identik dengan gagasan jelimet serta serius. Biasanya para filosof selalu dihantui untuk mencari hakikat dari sesuatu. Sehingga sikap kritis selalu disematkan kepada para filosof. Pertanyaan terhadap suatu problem tak akan berhenti sebelum semuanya jelas. Tak hanya itu, sang filosof dianggap mengetahui segala sesuatunya.
Sayangnya, hal tersebut tidak terjadi. Di pertemuan itu, tak ada debat. Malah yang terjadi sebaliknya. Argumentasi saling menguatkan. Zizek mengiyakan apa diutarakan oleh Badiou. Pertemuan itu, bisa dibilang semacam konsolidasi para filosof. Dan ingin menyampaikan sebuah petisi bahwa filsafat tidak dituntut untuk berbicara apa saja. Bagi Badiou, filosof dituntut bicara apa saja sesuatu yang menyesatkan. Lalu bagaimana seharusnya filsafat dan filosof? Di sini Badiou melihat tugas filsafat, pertama dan terutama, adalah penciptaan problem-problem baru. Tidak ikut pada desain problem yang ada. Justeru filosoflah yang menghadirkan problem-problem baru. Artinya filosof harus hadir dalam peristiwa yang ia kehendaki. Filsuf terlibat dalam permasalahan yang benar-benar mereka ciptakan.
Bagi Badiou, tidak semua peristiwa adalah masalah filsafat. Untuk mengenali peristiwa filsafat, Badiou kemudian mengenalkan apa yang disebut dengan situasi filosofis. Segala sesuatu terjadi di dunia ini, tetapi tidak semuanya adalah situasi bagi filsafat demikian ungkap Badiou. Untuk lebih muda memahami, apa yang dimaksud dengan situasi filosofis itu, Badiou kemudian memberikan contoh. Ia menggambarkan dalam tiga momen. Momen pertama, Badiou mengurai perjumpaan Sokrates dengan Callicles. Perjumpaan ini diabadikan dalam dialog Platon, Gorgias.
Pada perjumpaan itu, terjadi perdebatan sengit. Pikiran Socrates kontra Callicles. Callicles berpendapat, kuat itu benar bahwa orang yang bahagia adalah seorang tiran. Orang yang unggul atas orang-orang lainnya lewat kelicikan dan kekerasan. Pendapat Callicles, dinegasi oleh Sokrates. Ia menegaskan manusia sejati, sama dengan orang bahagia, adalah Yang Adil. Badiou melihat dua pikiran yang berbeda—yang memang dari awal tak mungkin ketemu, sebenarnya bukan debat akan tetapi sebuah konfrontasi. Dan kita yang membacanya, akan menemukan bahwa pembicara yang satu tidak sedang berupaya meyakinkan pembicara yang lain. Terpenting di sini, bahwa kita akan menemukan pemenang dan seorang dikalahkan. Di depan peserta diskusi itu, Callicles dikalahkan Soktrates.
Pada sistuasi di atas, apakah filsafat itu? Badiou menuturkan bahwa tugas filsafat adalah memilih. Apakah kita berpihak di kubu Sokrates atau Callicles. Filsafat menghadapi pemikiran sebagai pilihan, pemikiran sebagai keputusan. Filsafat bertugas menjelaskan pilihan. Dengan itu, berangkat dari contoh di atas, Badiou, merangkumnya dalam sebuah pernyataan bahwa situasi filisofis, terdapat dalam suatu momen ketika sebuah pilihan dijelaskan. Sebuah pilihan eksistensi atau sebuah pilihan pikiran.
Momen kedua yakni kematian Archimendes. Archimendes, dikenal sebagai pemikir besar, filosof dan ilmuwan. Dia sangat gandrung pada matematika. Ia orang Sisilia—Yunani. Tragedi pembunuhannya berawal ketika Sisilia dikuasai oleh Jenderal Romawi: Marcellus. Saat kurir jenderal mendatanginya untuk menghadap ke Jenderal Marcellus karena Sang Jenderal sangat terpikat dengan setiap ilmuwan. Oleh kurir, Archimendes ditemui di pantai Sisilia. Lalu si kurir menyampaikan kepada Archimendes: “Jenderal Marcellus ingin bertemu denganmu”. Archimendes tak menjawab. Ia tetap diam. Dia tetap sibuk dengan demostrasi matematika yang digambarnya di pasir. Sebuah gambar geometris. “Archimendes! Jenderal ingin bertemu denganmu!” Dengan nada meninggi dan amarah sudah merasukinya, si kurir mengulangi kata-katanya.
Mendengar si kurir, Archimendes mendongak pun nyaris tidak, dan berkata kepada prajurit yang tugasi sebagai kurir itu: “Biar kuselesaikan demonstrasiku dulu”. Selesai ucapan Archimendes, kurir itu menjawab dengan marah: “Tetapi Marcellus ingin bertemu denganmu! Apa peduliku pada demonstrasimu!” Tak ada yang berubah. Archimendes tetap pada posisinya semua. Tanpa menjawab Archimendes melanjutkan perhitungannya. Si kurir sudah kehilangan kesabaran melihat ulah Archimendes, ia meloloskan pedang dan menusuk Archimendes. Archimendes roboh seketika dan tubunya menghapus gambar geometrisnya di pasir
Pada tragedi Archimendes, letak situasi filososfisnya, ada di antara hak negara dan pemikiran kreatif. Terutama pemikiran ontologis yang mewujud dalam matematika demikian Badiou menjelaskan. Lanjutnya, antara Archimendes dan si kuris terdapat jarak. Sebuah jarak yang tidak bisa ditempuh oleh si kurir—ini karena otaknya tak memahami pikiran Archimendes. Tapi sisi lain, ia adalah prajurit yang disiplin. Pada situasi ini, misi filsafat di sini, menerangkan jarak tersebut. Ia terlibat merenungkan dan memikirkan sebuah jarak tanpa ukuran. Atau sebuah jarak yang ukurannya diciptakan oleh filsafat itu sendiri.
Contoh ketiga, Badiou, menerangkan dengan merujuk pada film Jepang. Film yang disutradarai Mizoguchi yang diberi judul The Crucified Lovers. Tuturnya, ini adalah film yang terbaik tentang cinta. Tentang mencintai dan tak dicintai. Tentang saling mencintai yang harus “melompati” aturan-aturan adat. Alur dalam film ini, bercerita tentang seorang pemilik toko kecil yang jujur, hidup berkecukupan. Ia mencintai gadis muda yang cantik. Lalu menikahinya. Walau sudah menikah, tapi si penjaga toko itu, harus menerima kenyataan bahwa ia tak dicintai oleh istrinya. Ternyata istirnya, saling mencintai dengan lelaki lain. Seorang pemuda yang bekerja di toko kecilnya.
Aturan adat mengintai pasangan kekasih itu (istri dan pekerja tokonya). Mereka ketahuan. Perzinaan terjadi. Hukuman mati menanti. Pasangan yang sedang dilanda kasmaran itu, harus melarikan diri ke hutan. Ke dunia jalan setapak. Menempati gubuk-gukuk. Melewati danau dengan perahu. Meraka diburu. Suaminya yang jujur tetap berupaya menutupi istrinya yang lari. Ini bukti bahwa si suami sangat mencintai istrinya. Sebuah cinta yang siap menerima semua konsekuensi, termasuk untuk dikhianati. Dicampakkan.
Lalu di mana letak situasi filosofis dalam film itu? Badiou melihatnya di ending film itu. Sepasang kekasih diikat saling membelakangi di atas seekor keledai. Mereka menemui kematian dengan senyum. Peristiwa “senyum” itulah situasinya. Ini menandakan peristiwa cinta yang tak terkalahkan oleh hukum perkawinan. Peristiwa cinta memang kadang kala melahirkan perkeculian dari norma umum. Ia punya logika sendiri. Filsafat hadir dalam memikirkan peristiwa itu. Memikirkan tentang hal tak biasa. Bagi Badiou, ketiga peritiwa di atas, menyajikan hubungan yang bukan hubungan. Tak ada standar sama. Ide kebahagian Callicles dengan Sokrates mengandung negasi yang butuh penjelasan ketat. Archimedes menemui kematian adalah sikap kebebasan. Begitu juga ketaatan prajurit kepada pemimpin. Cinta berujung kematian. Peristiwa cinta sepasang kekasih berbenturan dengan hukum adat. Suatu paradoks. Semua peristiwa itu berujung pada tautan pilihan, jarak, dan perkecualian. Di sanalah situasi filosofis terbentuk. Setiap kali terdapat sebuah hubungan paradoks, artinya sebuah hubungan yang bukan sebuah hubungan, sebuah situasi keterputusan, maka filsafat bisa terjadi. Semua gagasan Badiou ini dapat dibaca dalam buku Filsafat Di Masa Kini cetakan basa basi 2008.