Menjadi jurnalis sesuatu yang tak mudah. Apalagi bagi jurnalis yang ada di daerah sebutlah kota/kabupaten. Saat ini, di masyarakat ada stigma negatif yang berkembang ihwal jurnalis (wartawan).
Di masyarakat jurnalis tak sedikit dipandang sumber masalah seperti pemeras, menyampaikan berita yang tidak benar (hoaks), serta pemberitaan yang tidak jelas atau tidak mencantumkan sumbernya.
Mungkin stigma masyarakat itu ada benarnya, walau tidak untuk semua media. Tapi karena kesalahan berpikir over generalisasi, maka di pandang semua media sama saja.
Direportase kali ini akan fokus pada cerita tentang sumber berita. Ini mungkin masih banyak yang menjadi masalah di kalangan media.
Seperti yang ditayangkan oleh remotivi.or.id tertanggal 7 Februari 2020. Ia menayangkan sebuah tulisan tentang praktik jurnalistik. Tentang kisah M. Ihsan Yurin salah satu wartawan di Riau.
Cerita bermula saat Ihsan meliput sebuah kegiatan pemerintah yakni Rapat Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD). Pejabat penting yang hadir waktu itu Sekretaris Daerah Provinsi (Sekda).
Dalam sambutan Sekda Provinsi Riau sekidit kecewa atas ketidakhadiran Pelaksana Tugas Bappeda yang semestinya menjadi pemimpin rapat RKPD tidak hadir. Selesai peliputan itu, Ihsan menuliskan beritanya. Saat itu, ini pengalaman pertama Ihsan menulis berita. Dan begitu senangnya ia ketika berita yang tulisanya itu tayang. Namanya tercantum sebagai penulis berita tersebut.
Sehari setelah beritanya terbit, ia bertemu dengan seniornya. Dipertemuan itu, ia diberi selamat atas beritanya yang “laris”. Makna laris di sini tidak hanya karena pembacanya yang banyak. Akan tetapi berita tersebut berapa kali disadur oleh media lain tanpa mencantumkan sumber beritanya dari mana.
Padahal yang hadir dalam peliputan itu hanya Iksan, seniornya dan dua wartawan lain dari media lain. Sedangkan media yang menyadur beritanya dengan hanya mengganti judul, wartawannya tidak di lokasi.
Pengalaman lain, masih dari Ihsan, yakni ketika seniornya yang ia sapa Bang Rico sedang melakukan liputan eksklusif terkait gagal tumbuh di Dinas Kesehatan.
Ketika beritanya diunggah, berita seniornya itu jadi ramai. Sebab, tidak ada satu pun media yang bahas isu itu. Dan berita ini bentuknya wawancaranya eksklusif, sehingga Ihsan yakin media lain tidak sampai hati mau menyadur berita itu. Tapi ternyata tidak. Tulisan itu disadur berkali-kali tanpa penyebutan sumber. Cuma sebatas ganti narasi saja.
Cerita di atas, sejatinya bukan hal baru. Dan ini seperti menjadi kebiasaan di kalangan media tertentu. Di daerah tertentu. Di Luwu, kami di Belopainfo.id pernah mengalami hal sama. Sebuah liputan khusus dan dituliskan dalam bentuk feature (naratif penggambaran) tentang sosok figur kepala desa.
Proses penulisannya sungguh tidak sederhana. Wartawan yang menuliskannnya sebelumnya melakukan riset “kecil-kecilan” terhadap figur yang dituliskannyan itu.
Hingga prosesnya selesai, dan tulisan itu diunggah, salah satu media during, menyadur tulisan tersebut dan hanya mengganti judulnya saja. Ironinya dalam publikasinya, ia tak mencantumkan sumber bahwa tulisan itu dari Belopainfo.id.
Di awal, sebelum Belopainfo.id benar-benar dipublish sebagai salah satu media di Tana Luwu ini, salah satu yang menjadi perdebatan sengit yang terjadi dirapat redaksi yakni kaidah penyaduran berita dari media lain atau media center kepunyaan pemerintah (Kominfo).
Dalam rapat redaksi itu, dengan tetap berlandaskan pada kaidah jurnalistik yang kami pahami, dan juga untuk menghindari plagiasi, bahwa setiap berita di mana wartawan Belopainfo.id tak hadir dalam peliputan tersebut dan hanya menyadur maka wajib mencantumkan sumber (nama media) yang sebelumnya telah merilis berita tersebut walaupun judul dan narasinya telah diedit ulang oleh redaktur.
Seperti halnya cita-cita Ihsan bahwa penghargaan terhadap peliputan oleh seorang wartawan di lapangan bila menyadurnya, maka sumbernya semestinya dicantumkan. Ini juga cara bagaimana kaidah jurnalistik kita tegakkan. Ini pula jalan untuk memutus mata rantai plagiasi. Menghidupkan cara-cara pemberitaan yang jujur. Mungkin dengan itu, kita bisa menjadi media kredibel dan berintegritas sehingga kepercayaan publik bisa kita “petik”. Semoga.
Reporter. : AS
Editor. : AS