Indonesia sebagai bangsa yang berketuhanan, nilai-nilai moral yang luhur dalam Pancasila menggambarkan bahwa bangsa Indonesia cinta akan keselarasan dan keseimbangan terhadap keberagaman agama, ras, dan bahasa.
Ihwal keragaman, Gus Dur memahaminya sebagai keharusan. Bagi Gus Dur, keberagaman itu adalah rahmat yang telah digariskan Allah. Karena itu, menolak keberagaman atau kemajemukan adalah pengingkaran terhadap pemberian ilahi.
Dari sini, kita kemudian dapat kembali belajar dari Gus Dur yang ramah dan damai dalam mengaktualisasikan teks-teks agama. Cara-cara semacam ini pulalah yang sesungguhnya diperlukan pada bangsa yang memiliki keberagaman suku, etnis, budaya, bahasa, hingga agama.
Kerukunan dalam beragama tampak diperlihatkan di salah satu desa yang ada di Kabupaten Luwu yakni Paccerakang. Paccerakang merupakan desa yang terletak di Kecamatan Ponrang Selatan ini, dulunya bagian dari desa Pattedong sebelum dimekarkan.
Masyarakat Paccerakan sangat menghargai perbedaan dari segi agama, suku dan ras. Misalnya pada saat hari-hari besar keagaamaan satu sama lain menampakkan sikap toleransi mereka dengan berkunjung ke rumah untuk memberikan ucapan selamat.
Selain hari raya keagamaan masyarakat Paccerakang juga menggelar tradisi seperti pesta panen untuk penganut agama Islam sementara beragama Kristen juga menggelar pesta panen dengan istilah pengucapan syukur. Dan mereka sama-sama saling membantu.
Ibu Yanti umur 53 tahun, beragama Islam. Berdomisili di Paccerakang sejak tahun 1970-an sebelum Paccerakang mekar menjadi desa. Saat ditemui oleh Belopa Info, menjelaskan semenjak adanya Desa Paccerakang hingga sekarang masyarakat sangat menjunjung tinggi persaudaraan dan saling menghargai perbedaan.
“Saat hendak berdomisili di Paccerakang sudah diberikan pesan oleh pemerintah setempat saat itu untuk tidak boleh ada cekcok karena agama atau suku” jelasnya.
Yanti lanjut menerangkan bahwa saat menjelang perayaan hari-hari besar kami juga ikut membantu misalnya dalam proses pembuatan makanan untuk persiapan perayaan.
“Dalam proses pembuatan makanan juga dibedakan karena kita juga tetap memperhatikan hal-hal yang dibolehkan dan dilarang khusunya persoalan makanan” ujarnya.
Selain Ibu Yanti, kami juga bertemu dengan Hengki usia 25 tahun beragama Kristen, saat dimintai beberapa informasi dan pengalamaanya di Desa Paccerakang. Menurut Hengki, bahwa di Desa Paccerakang secara kuantitas Kristen lebih banyak namun ada satu dusun yakni Tetewaka saudara muslim yang lebih banyak. Namun demikian desa kami sangat aman. Segala perbedaan tak membuat kami saling menjauh. Justru sebaliknya kami sering sekali saling membantu.
Di kampung ini kami sudah menjadi saudara satu sama lain sekalipun berbeda agama dan suku” tegas Hengki
Desa Paccerakang sendiri di dalamnya terdiri dari tujuh gereja dan empat masjid. Sementara itu, ada beberapa suku yang ada yaitu suku Bugis, Luwu, serta Toraja. Meski demikian mereka tak pernah memperdebatkan persoalan agama maupun suku dan mereka tetap hidup rukun.
Reporter. :YSF
Editor. : AS