Narasi Singkat Spritualitas, Budaya dan Politik Islam

Mempolitisasi Islam dan mengubahnya menjadi suatu ideologi untuk mencapai kekuasaan, merupakan perubahan penting yang tak syak lagi telah memengaruhi jalannya kehidupan dan peradaban muslim pada masa modern. Namun ketika kalangan islamis menyatakan “Islam adalah jalan hidip yang menyeluruh” dan itu berarti bahwa bentuk-bentuk lahiriah Islam harus meliputi bentuk ekspresi dunia modern, tanpa mempertanyakan secara serius kerangka konseptual yang mendasari dunia modern ini. Maka, secara implisit, dalam ranah konsep yang lebih tinggi mereka telah mengakui otoritas kerangka berpikir modern.


Para Islamis pada kenyataanya telah menyatakan dengan bangga keyakinan mereka pada Islam yang ilmiah dan progresif. Sehingga secara implisit mengadopsi pandangan dunia sains modern dan manfaat perubahan teknologi yang tak terbatas. Mereka sering memanfaatkan status rasionalis mereka untuk mengklaim dapat mengelola negara dan masyarakat secara lebih efektif dibanding kelompok lain. Di tangan mereka, penerapan syariah lalu menjadi mekanisme yang membuat bentuk lahiriah Islam terpeliharan dan diizinkan secara resmi.

Bacaan Lainnya


Ketika seluruh dunia Islam terlihat telah menyerah pada cara-cara dunia modern, jalan satu-satunya yang mungkin membawa perubahan adalah jalan politik. Kapan pun dan untuk alasan apa pun, hal ini dihalangi, maka pemanfaatan kekerasan hampir tak dapat dihindari. Namun, bagaimanapun pemanfaatan terorisme atas nama peradaban besar mengkonfirmasi hilangnya peradaban tersebut dari kesadaran para teoris dan pendukung-pendukungnya. Keberhasilan politik Islam mungkin secara paradoks, akan terbukti menjadi krisis terakhir peradaban Islam. Karenanya, hal itu akan secara tuntas menghapus kemungkinan jalan politik sebagai dasar untuk meyegarkan kembali unsur peradaban Islam dalam bentuk baru.


Sementara itu, baik Islam politik maupun ortodoksi fundamentalis, dan juga otokrasi dan demokrasi semu yang memerintah di dunia Islam sama-sama mengistimewakan bentuk-bentuk kesalehan dan ketaatan lahiriah sebagai suatu konfirmasi adanya landasan Islami dalam masyarakat mereka. Penerapan hal-hal yang dianggap norma lahiriah Islam—aspek-aspek yang berkaitan dengan manifestasi lahiriah Islamisme antara lain terwujud dalam pemaksaan atau pembujukan perempuan supaya menggunakan jilbab di tempat umum, memoles identitas Islam dengan membangun masjid-masjid besar, menggelar perayaan-perayaan Islam, penyebaran saluran TV Qurani dan program TV agama—tidak bisa menjadi jalan untuk membangun kembali peradaban Islam. Karena hal-hal ini tidak bisa dijadikan panggung penemuan kembali etika batinia yang darinya dapat muncul suatu dorongan peradaban baru. Jika umat Islam tidak dapat menghimpun sumber daya batinia dari agama Islam untuk meciptakan kehadiran lahiriah yang berkekuatan peradaban, maka Islam sebagai suatu peradaban mungkin akan hilang.


Para Islamis dapat saja mengklaim bahwa pandangan mereka tentang dunia lahiriah yang dibangun berbeda dari dunia modern, namun penerimaan mereka secara tanpa sadar akan asumsi-asumsi dasar dunia modern membuat klaim tersebut tidak efektif. Mudah saja melarangan konsumsi alkohol atau mengubah undang-undang pidana atas nama syariah; tetapi hal ini sama sekali tidaklah menciptakan suatu alternatif untuk mengatur kehidupan manusia, dan mengubah secara radikal pendirian masyarakat tentang nilai-nilai.


Tanpa penemuan kembali sumber daya batiniahnya, umat Islam tidak akan mampu menginternalisasikan, membentuk ulang, dan kemudian mentransendesikan produk-produk peradaban asing (modernitas) dalam kerangka khas Islam. Umat Islam tidak lagi dapat hanya sekadar mengambil dan memilih-milih apa yang diterima dan ditolak dari modernitas melalui filter syariah guna menciptakan komropmi. Menyenagkan antara Islam dan modernitas. Pendekatan yang dilakukan oleh reformis Islam ini, selama lebih satu abad, terbukti tidak menghasilkan sama sekali kemajuan materi, tidak juga menguatkan fondasi peradaban Islam, selain suatu spiritual samar, yang mengambang di atas masyarakat yang di permukaan tampak seolah punya kekhasan budaya, tetapi secara efektif telah melebur dalam tatanan peradaban modern yang dominan.


Mereka mengalami ambiguitas batin terhadap norma-norma dunia modern dan kehidupan lahiriah yang secara tak terhindarkan didominasi oleh norma-norma ini. Keseimbangan inheren yang dituntut Islam antara kehidupan batinia dan lahiriah seorang muslim telah dikacaukan. Mereka dihadapkan pada kesulitan antara kebutuhan untuk menjaga keseimbangan moral dalam diri yang dituntut Islam dengan tuntunan-tuntunan kesuksesan dalam dunia modern. Kebangkitan Islam terancam gagal jika tidak ada pengungkapan lahiriah dari agama ini pada segala tingkatan peradaban, jika kehidupan dan cita sehari-hari mereka hanya merupakan varian dari standar global.


Oleh : Alfathri Adlin
Megister Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta

Pos terkait