Pada masa pandemi Covid-19 ini, orang-orang mungkin dengan ‘enteng’ tanpa beban eksistensial melakukan segala ritual dan aktivitas dari rumah. Atau dengan semangat kemajuan, berusaha berdamai dengan mesin-mesin berhati dingin. Dengan komputer di atas meja atau handphone pintar dalam genggaman.
Setiap kita diharuskan (terpaksa) bekerja lewat layar datar atau ruang- ruang yang dilipat ini selama masa physical distancing. Pelan-pelan, tanpa sadar, setiap kita telah membangun sebuah jembatan personal dengan mesin di hadapan kita. Demikianlah komputer personal memulai debutnya dalam pasar media massa.
Tahun 1984 adalah momen tumbuh kembangnya realitas baru ini. Bertolak belakang dengan dunia suram yang diimajinasikan Orwel dalam novelnya ‘1984’, Macintosh lahir membawa perubahan paling radikal dalam sejarah komunikasi.
Apple Computer lewat tangan mistis Stave Wozniak dan Steven Paul Jobs menancapkan sebuah pengembaraan sunyi realitas virtual yang menakjubkan. Realitas faktual mulai bergeser ke arah realitas virtual. Dan manusia modern merayakannya dalam bahasa Sherry Turkle, introduksi antarmuka (interface) yang memabukkan.
Para ekspert di bidang Sosiologi mungkin membaca Turkle perihal pandangannya tentang komputasi Macintosh. Hikmat Budiman menyentilnya dalam buku Lubang Hitam Kebudayaan cukup detail ketika membahas revolusi baru hiburan dan informasi. Bagi Turkle, ada dua tradisi kultural seiring kelahiran model komputasi baru ini.
Yang pertama, disebut sebagai The Modernist Computational Aesthetic, ketika komputer masih dianggap sebagai mesin hitung atau pencacah bilangan. Pandangan ini menganggap atau memosisikan komputer sebagai perkakas yang akan memudahkan dan menyederhanakan segala kerja kerja analitis yang rumit. Pandangan ini juga sekaligus disebut Turkle sebagai metanarasi agung (grand metanarrative) zaman modern.
Yang kedua, disebut Turkle sebagai simulasi postmodern. Konsep ini hendak ingin melampaui pandangan kita tentang komputer sebagai sekadar alat kalkulasi dan kode-kode program. Lebih jauh, komputer yang ada di hadapan kita saat ini telah menjadi alat manipulasi atas sebuah hasil simulasi dalam layar layar datar.
Realitas tak lagi hanya dibaca sebagai kalkulus ataupun konsep-konsep analitik mekanistik yang dapat dihitung, tetapi lebih jauh, telah membawa pada teknik-teknik asosiatif, intuitif, bahkan nyaris biologis. Jika meminjam istilah Budiman, komputer, dengan demikian, telah menjadi megalomania manusia modern.
Pada tahap ini, secara perlahan, kita telah dirayu dengan halus untuk meninggalkan kesadaran kita sehari-hari menuju alam manipulasi dalam layar komputer. Wilayah-wilayah manipulatif ini merupakan finite provinces of meaning atau realitas berhingga hasil konstruksi kesadaran kita. Namun realitas hasil manipulasi ini pun pada akhirnya menyesatkan.
Pandangan Baudrillard tentang simulacrum telah menunjukkan bahwa realitas itu tak lagi hadir apa adanya. Teori simulacrum hendak mengatakan bahwa simulasi (dalam layar komputer hasil konstruksi kesadaran) pada akhirnya akan menutupi realitas yang diacunya dan pelan pelan menjadi realitas independen tanpa relasi dengan realitas apa pun. Pada saat itulah, dalam konsep Baudrillard, realitas telah menjadi simulacrum murni miliknya sendiri.
Cyberspace dan Hilangnya Kesadaran
Cyberspace adalah dunia manipulasi yang diciptakan teknologi virtual karena realitas tak cukup lagi untuk manusia hidup atau beraktivitas. Komputer memungkinkan menciptakan dunia atau bentuk-bentuk tampilan data bagi pemakai teknologi yang bertujuan memperdalam ilusi, yang dalam catatan Budiman, sebuah lingkungan ‘real’ yang, walau bagaimana berbeda dengan realitas sehari-hari. Dengan kata lain, prinsip komputasi di atas adalah dunia yang telah lepas dari realitas fisik keseharian menuju realitas maya yang hanya berisi data dan informasi dari para pengguna. Dengannya, tentu saja, kesadaran akan ikut hilang.
Hari ini, hampir dari kita semua telah diundang masuk ke dalam realitas baru ini, dan Covid-19 mempertegas (memaksa) untuk mempercepatnya. Pada ruang atau realitas baru ini, masing-masing dari kita mempertunjukkan hidup masing-masing dengan tombol atau sentuhan praktis layar gawai. Kita masuk dan melakukan duplikasi ‘diri’ hingga membangun dunia ideal yang sempurna. Dunia yang sebelumnya pernah ditolak dan dianggap omong kosong. Dunia yang pernah ditampik (mungkin hingga saat ini). Inilah ‘global villages’ yang pernah menjadi ramalan McLuhan. Mungkin ujung dari peradaban ini adalah hilangnya kesadaran. Atau paling tidak, manusia tak bisa lagi memberi makna pada kemanusiaan. Dengan bahasa lain, kita harus menerima kehilangan identitas kemanusiaan kita sendiri. Hal ini dimungkinkan dengan berpindahnya realitas atau objek-objek (termasuk kesadaran) masuk ke dalam realitas cyberspace ini. Dunia real atau realitas kita “yang apa adanya” akan hilang atau ditenggelamkan oleh realitas yang non-real tadi. Inilah akhir dari dunia masa depan yang sedang Kita jalani. Baudrillard menyebut hal ini sebagai akhir dari dunia, from wich we can retire and remove definitively.