Awal waktu Covid-19 merajalela di negeri Tirai Bambu Cina, beredar di jaringan dinding dunia maya, gambar kardus-kardus bantuan alat kesehatan dari Jepang. Yang unik, saat perhatian Cina terkuras untuk mengatasi pandemi ini, diselipkan sebait puisi di kotak bantuan berisi masker dari Jepang itu: ”Meski berasal dari tempat yang berbeda, namun kita berada di bawah langit yang sama.”
Sejarah puisi ini diambil dari kata-kata Daiwaj Tseiden, sebuah cerita Jepang tentang biksu Buddha Cina Jianzhen yang bepergian di Jepang pada abad ke-8. Dikutip dari Tempo, baris puisi ini dijahit dan diberikan kepada Jianzhen dari seorang kaizar Nagaya yang mengundangnya untuk berceramah tentang ajaran Buddha di Jepang. Merasa tersentuh atas undangan itu, Jianzhen menyanggupi undangan sang raja.
Belakangan, ketika Cina berangsur pulih menyatakan menang atas keganasan virus corona, Cina berbalik mengirimkan bantuan alat kesehatan ke negara-negara yang masih melawan corona dengan cara yang sama seperti dilakukan Jepang.
Ketika Cina mengirimkan bantuannya kepada Korea Selatan, di kotak kirimannya diselipkan kutipan syair dari zaman Dinasti Joseon. Bunyinya ditulis begini: ”Pohon pinus dan pohon cemara di musim dingin, tidaklah saling melupakan satu sama lain.” Walaupun kedua negara ini bersaing secara ekonomi, syair ini mengingatkan, Cina dan Korea Selatan, adalah ”dua tanaman yang tumbuh di musim yang sama.”
Iran, negeri jauh dari seberang Cina, dan berjatuhan banyak korban mendapatkan perlakuan serupa. Di kotak kiriman alkes, ”dilabeli” sajak tua dari Dinasti Persia: ”Keturunan Adam adalah seperti bagian tubuh, diciptakan dari satu sumber, ketika ada bencana yang menimpa satu bagian tubuh, bagian tubuh yang lain tidaklah mungkin dapat berdiam diri.”
Di dua negara Eropa, seperti Jerman dan Italia, Cina juga melayangkan kiriman bantuan alkes dengan mengutip pula kata-kata arif yang diambil dari sejarah negeri bersangkutan.
Di Jerman, jika Anda tinggal di sana saat ini, bantuan alkes dari negeri Tembok Cina itu diikutkan sajak bertulis: ”Gunung dan lembah tidaklah bersatu, tapi berbeda dengan manusia.” Kutipan barusan diambil dari abad Pertengahan, ketika Eropa sedang mengalami transisi kemanusiaan dari Abad Kegelapan menuju Renaisance.
Bagaimana dengan Italia? ”Kita adalah ombak dari laut yang sama, daun dari pohon yang sama, dan bunga dari kebun yang sama.” Begitu kutipan kata-kata yang diambil dari zaman Romawi kuno, yang ditempel di ribuan kardus bantuan Cina, untuk menyemangati negeri pizza dari sebaran corona yang kian eskalatif.
Apa yang sebenarnya terjadi di antara bangsa-bangsa ini? Mengapa mesti syair?
Syair adalah bahasa paling universal dan tua bagi peradaban manusia. Dalam tinjauan ilmu jiwa, syair merupakan bahasa yang mampu menenangkan jiwa ketika menghadapi guncangan. Syair, jika diurutkan bersama usia manusia, dia sudah ada dan berumur sama tuanya dengan peradaban manusia.
Cina, Iran, Jepang, Jerman, Italia, dan Korea Selatan, adalah negeri-negeri yang memiliki sejarah panjang. Bahkan beberapa di antaranya memiliki peninggalan peradaban tinggi. Iran, misalnya, adalah negeri berperadaban Persia dengan capaian seni, arsitektur, filsafat, dan sastra yang gemilang di masa lalu.
Jepang pun demikian. Sampai hari ini masyarakatnya hidup dengan kearifan Shinto yang diterapkan dalam kehidupan modern saat ini.
Cina apalagi, negeri yang digadang-gadang bakal menguasai perekonomian dunia, sering dicap melalui hadis Nabi agar bersegera belajar sampai ke negerinya. Belajarlah sampai ke negeri Cina, begitu sering diucapkan, yang berarti ada ”sebongkah” pelajaran di sana sehingga Rasulullah mewantinya.
Korea selatan, Italia, dan Jerman, negeri-negeri yang kiwari jadi kiblat kemajuan seni peran, olahraga, dan teknologi. Dari Cina sampai Iran, Jepang sampai Italia, Jerman hingga Korea Selatan, meski jauh dipisahkan jarak, tapi dekat secara kemanusiaan. “Kita adalah ombak dari laut yang sama, daun dari pohon yang sama, dan bunga dari kebun yang sama,” kata syair Romawi kuno.
Syair adalah bahasa peradaban, yang lahir dari jiwa luhur kemanusiaan. Coba tengok peradaban-peradaban tua, hampir semua pencapaiannya dinarasikan dengan syair, dan jiwa manusialah pusat dan sasarannya. Itu artinya, sepanjang kemanusiaan kerap jadi sasaran tragedi, di sepanjang itu pula jiwa kemanusiaan membutuhkan kearifan syair.
Kiwari, dunia sedang menghadapi tragedi. Tidak ada satu bangsa pun merasa aman dari tragedi kali ini, yang sekarang datang dalam wujud pandemi mematikan. Pelan dan hampir pasti, seolah-olah di layar kaca, tiap menit angka kematian bermain teka-teki. Akan sampai berapakah misteri jumlah angka kematian akibat tragedi ini?
Sembari melawan misteri angka-angka korban pandemi, setiap bangsa-bangsa terdorong berpegang tangan mengirim bantuan dari masing-masing peradaban.
Kata Ernest Renan, sebuah bangsa adalah sebuah jiwa. Bangsa bukan saja berisi sejumlah tubuh, melainkan dibangun di atas jiwa. Tubuh bangsa bukan sekadar fisik, melainkan diikat jiwa sebagai unsur utamanya. Bangsa-bangsa, bagi Renan merupakan wujud dari apa yang ia sebut ”le desir de vivre ensemble”, panggilan untuk hidup bersama.
Kini setiap bangsa-bangsa—tidak terkecuali Indonesia— sedang memperjuangkan kehidupan bersama. Saling bahu membahu mengirim spirit dan energi satu sama lain agar dapat bangkit dari keterpurukan pandemi. Peragaan ini sesungguhnya cermin jiwa bangsa yang besar dan kuat. Indonesia harus belajar dari bangsa-bangsa ini. Bangsa-bangsa berjiwa empatik.