Every writers has an address, kata Isaac Bashevis Singer, penulis Yahudi peraih nobel sastra 1978.
Setiap penulis pasti memiliki alamat. Tanpa alamat, rumah menjadi dislokasi. Dia ada tapi tidak dapat diketahui, apalagi dijangkau.
Rumah tanpa alamat hanya menjadi tempat asing yang berarti tempat yang terputus dari denyut aktivitas, wahana tanpa interaksi. Sudah pasti ia bakal menjadi kawasan terisolasi, sekaligus bukan tempat terjadinya sosialisasi.
Bagi seorang penulis, di mata Isaac Bashevis Singer, alamat menjadi penting karena itulah portofolio seorang penulis.
Ekosistem pemikiran, jaringan berkubuan, buku bacaan, tradisi literasi, hingga jalinan lintasan gagasan menjadi penanda di mana seorang penulis pernah tinggal bertaut, dan tumbuh berkembang di dalam ”rumahnya”.
Alamat menunjukkan rumah. Rumah merawat habitus. Habitus bakal menopang kelahiran tradisi, dan hasil di ujungnya adalah kebudayaan.
Itu artinya, penulis tidak datang sekonyong-konyong lahir tanpa dasar pemikiran dan gagasan diskursif yang menopang cara pandangnya.
Ia, dengan kata lain, mesti berkecimpung dari dalam rumah, habitus tempat ia bergumul dengan kebudayaannya. Menyerap suasana batin, lintasan pemikiran dan gagasan, membentuk wawasan pengalaman, dan berdialektika di dalamnya.
Tanpa alamat, atau dengan kata lain, suatu tradisi pemikiran, penulis hanya menjadi sosok tak bertempat dan tak bernama. Karya-karyanya bakal sulit mendapatkan tempat, diapresiasi, dan dikenang.
Babakan era kepenulisan Tanah Air menunjukkan, setiap masa melahirkan alamat rumah berbeda-beda.
Pujangga Lama, Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 45, Angkatan 66, hingga kiwari, merupakan kelindan lintasan alamat yang membentuk tonggak-tonggak tradisi kepenulisan.
Jangan sepelekan bagaimana angkatan-angakatan ini saling menuding, berselisih, dan kritik alamat satu sama lain. Saling menggedor-gedor pintu rumah masing-masing, menyoal cara pandang, pendekatan, tradisi, perkubuan, yang dianggap tidak mewakili keabsahan suatu kebudayaan yang saat itut disebut budaya Indonesia.
Antara Sutan Takdir Alisjahbana vs. Sanusi Pane, Manikebu vs. Lekra, Pramoedya Ananta Toer vs. Buya Hamka, Humanisme Universal vs. Realisme Sosialis, adalah terminal-terminal sejarah, bukan saja yang berkaitan dengan tradisi kepenulisan, melainkan juga ideologi kepenulisan.
Perdebatan di antara begawan ini, mustahil lahir tanpa alamat yang menghubungkan mereka satu-sama lain. Alamat dalam hal ini bagai resume curicculum vitae lengkap dengan sinopsis bagi penulisnya untuk memasuki ruang pemikiran yang lebih besar.
Jadi, kritik mengkritik menjadi lumrah di sepanjang alamat semacam ini yang dipakai. Ingat, rumah berarti segalanya bagi penulis. Ia tradisi, pendekatan, dan latar belakang sejarah kepenulisannya.
Meski dipisahkan melalui alamat, atau bahkan dijauhkan akibat alamat yang berbeda-beda, tetap saja para pesohor ini memiliki satu hal yang membuat pemikiran dan kritik berjalan dalam lintasannya. Kesamaan itu yakni mereka dapat berbicara melalui dan dari dalam ”rumah” masing-masing.
Sutardji Calzoum Bachri, si Presiden Penyair, mengatakan setiap penulis tidak pernah menulis di atas ”kertas kosong.” Setiap penulis pasti bakal memulai lembaran tulisannya melalui kebudayaan tertentu.
Memang betul setiap penulis memiliki keotentikannya masing-masing, yang menunjukkan ciri khasnya, tapi tetap saja ia tidak hidup di dalam ruang hampa kebudayaan.
Ia, artinya, mau tidak mau, dan tidak bisa keluar dari sifat dan karakteristik habitat di mana ia berkecimpung menanam kaki-kaki pengalamannya.
Baca Juga : Manusia Teknis Versus Makhluk Filosofis
Itu berarti, setiap penulis sebenarnya menjadi satu mata rantai dari lapisan-lapisan kebudayaan sebelumnya. Bagai lapisan tanah, ia menempati satu kontur tanah tertentu, hidup menyejarah dari itu, dan bertunas dari dalam.
If you want to live the life that can best bring you into a sense of being a civilized person, then you have to seize I through your own culture, kata Cynthia Ozick sastrawan Amerika. Setiap penulis mau tidak mau bakal membawa sifat-sifat kebudayaannya.
Dalam skala global, dunia kiwari tidak bisa sepenuhnya seperti pendakuan para sosiolog yang dikatakan terhubung satu-sama lain, yang mengakibatkan universalisasi budaya. Toh jika itu terjadi bukan berarti setiap ”rumah” kebudayaan hilang sama sekali.
Malah, belakangan muncul istilah glokalisasi, yakni menguatnya nilai lokal yang terpancar dari kearifan masing-masing budaya di kancah global, yang ikut mewarnai kecenderungan dunia.
Ini sedikit banyak membuat rumah-rumah kebudayaan masih bisa eksis dengan segenap dinamikanya tanpa mengalami pengaruh universalisasi sama sekali. Tetap ada yang namanya cita rasa, kebiasaan, dan pandangan dunia yang eksis mempertahankan orisinalitasnya di tengah alamat globalisasi.
Ini artinya setiap rumah kebudayaan memiliki kesempatan untuk dapat saling terkoneksi. Indonesia sebagai satu rumah kebudayaan berkesempatan dapat “mengirimkan” alamat tradisi, pendekatan, karya, dan sejarah kepenulisannya ke rumah budaya lain demi agar dapat saling mengenal dan mempelajari.
Kita mengenal alamat sastra Amerika Latin, Tradisi Prancis, Sastra Inggris, Sastra Afrika, yang besar melalui rumah kebudayaan khas masing-masing. Mereka para penghuni rumah-rumah besar yang sampai saat ini kita baca karya-karyanya. Dari mereka kita dapat belajar cara, kebiasaan, dan pendekatan bagaimana mereka membentuk rumahnya masing-masing.
Di satu sisi, hal yang sama dapat terjadi bagi kita. Dunia luar dapat juga mengunjungi rumah kebudayaan kita. Mengenal ciri-ciri masyarakatnya, sistem pengetahuannya, tradisi literasinya, karya-karyanya, karakteristik kekuasaannya, yang dilakukan untuk mengenal latar belakang mengapa Indonesia mampu melahirkan penulis sekaliber Pramoedya Ananta Toer, misalnya.
Syahdan, tidak ada penulis tanpa alamat. Justru ia membutuhkan alamat untuk membentuk kepribadian dan orisinalitas kepenulisannya.
Alamatlah yang menghubungkan kita kepada rumah-rumah para pesohor. Kepada mereka kita bisa belajar berkaitan dengan alam kebiasaan, tradisi bacaan, dan jaringan gagasan yang membentuk suatu rumah kebudayaan. Kepada mereka kita mesti banyak berinteraksi dan berpijak.
Ayo, bung! Menulis dari ”rumah”.